Perpustakaan Emil Salim

Sekertariat Jenderal
Pusat Data dan Informasi
Bidang Pengelolaan Informasi

Perpustakaan

PERMOHONAN MAAF KAMI SAMPAIKAN KE SELURUH ANGGOTA PREMIUM JIKA ADA FILE YANG TDK DAPAT DIUNDUH. DIMOHON UNTUK MEMBERITAHUKAN VIA EMAIL KE : emilsalimlibrary@gmail.com DAN KAMI AKAN MENGIRIMKAN FULLTEKS KE EMAIL ANGGOTA -

DUNIA ATASI SAMPAH PLASTIK

DUNIA ATASI SAMPAH PLASTIK

DUNIA ATASI SAMPAH PLASTIK

Pencemaran plastik di laut mendapat perhatian besar dalam Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Ke-4 di Nairobi, Kenya. Perdebatan berkutat dari larangan penggunaannya, daur ulang, hingga inovasi teknologi untuk mencari material baru ramah lingkungan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia bisa menjadi sumber masalah atau bagian dari solusi untuk mengatasi masalah itu.

Kepala Sidang PBB tentang Lingkungan (United Nations Environment Assembly/ UNEA) Ke-4, Siim Kiisler, dalam jumpa pers, Senin (11/3/2019), di Nairobi, menyerukan agar semua negara melakukan perubahan demi mengatasi sampah plastik. Sebab, rata- rata tiap tahun 8 juta ton sampah plastik berakhir di laut.

”Kita akan kesulitan terbebas sepenuhnya dari plastik karena material ini diperlukan. Namun harus ada upaya serius mengatasi sampahnya agar tak berakhir di laut,” kata Kiisler. Berbagai studi membuktikan, sampah plastik, berukuran makro ataupun mikro dan nano, jadi ancaman serius bagi kehidupan di laut. Itu juga jadi ancaman serius bagi umat manusia.

Beberapa negara memberi contoh penanganan sampah plastik, termasuk Kenya, yang sejak 28 Agustus 2017 melarang pemakaian kantong plastik. Pemerintah Kenya mengancam hukuman penjara 4 tahun atau denda hingga 40.000 dollar AS bagi siapa pun yang memproduksi, menjual, ataupun membawa kantong plastik.

Menteri Lingkungan Kenya Keriako Tobiko mengatakan, setelah sukses melarang penggunaan kantong plastik, mereka akan melarang penggunaan botol dan alat makan dari plastik. ”Pelarangan (kantong plastik) membantu kita mengurangi sampah plastik di daratan dan perairan,” ujarnya.

Sebagai forum resmi Program Lingkungan PBB (UNEP) yang diselenggarakan dua tahun sekali, UNEA telah mengambil langkah signifikan dalam memelopori upaya mengatasi pencemaran plastik di laut. Mereka membentuk kelompok ahli yang bertemu setahun terakhir untuk membahas strategi global. Hasil riset dan diskusi grup inilah yang jadi salah satu fokus di UNEA Ke-4 dan akan jadi dasar bagi sejumlah negara memutuskan langkah selanjutnya.

Tantangan Indonesia

Dalam diskusi panel Selasa (12/3), delegasi dari sejumlah negara dan perwakilan sektor swasta juga membahas soal plastik. Ketua Divisi Lingkungan Uni Eropa Hugo Maria Schally mengatakan, untuk mengatasi masalah itu, UE fokus pada daur ulang plastik daripada pemakaiannya. Upaya dilakukan sejak dari pemilahan sampah dan melarang pembuangan atau penimbunan sampah plastik.

Laksmi Dhewanthi, anggota delegasi Indonesia yang juga Staf Ahli Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi banyak tantangan mengatasi sampah plastik di laut. ”Sampah di Indonesia amat cepat masuk ke laut karena faktor geografis sebagai kepulauan dan besarnya populasi di pesisir,” katanya.

Sebanyak 80 persen sampah di laut berasal dari aktivitas di darat, terutama di perkotaan. Volume sampah plastik terus meningkat dan mulai menggeser proporsi sampah organik. Misalnya, tahun 2013 proporsi sampah organik masih 60 persen dan plastik 13 persen. Pada 2016, sampah organik penduduk di Jakarta menghasilkan 2.000 ton sampah kantong plastik.

Untuk mengatasi sampah plastik, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018. Sejumlah strategi dilakukan, antara lain gerakan nasional mendorong kesadaran terkait bahaya sampah plastik, perbaikan pengelolaan sampah, serta mengatasi sampah di pesisir dan laut.

Dari segi kesadaran publik, ada peningkatan. Survei pada 2016 menunjukkan, 87,2 persen warga setuju kebijakan kantong plastik berbayar dan 91,6 persen setuju membawa tas belanja. ”Dua provinsi dan 18 kabupaten/kota menjalankan program penggunaan kantong plastik sekali pakai,” ujarnya.

Sementara itu, Laporan Global Resources Outlook 2019 yang diluncurkan di sela-sela UNEA Ke-4, kemarin, menunjukkan, ekstraksi sumber daya alam, seperti bahan tambang, meningkat tiga kali dalam 50 tahun terakhir. Pada 1970-an, ekstraksi yang dilakukan 27 miliar ton dan jadi 92 miliar ton pada 2017. Dalam kurun waktu yang sama, jumlah penduduk bertambah dua kali. Jadi, pertumbuhan ekstraksi SDA melebihi pertumbuhan penduduk.

Menurut laporan itu, ekstraksi dan pengolahan material, bahan bakar, serta makanan menyumbangkan setengah total emisi gas rumah kaca global dan berkontribusi pada lebih dari 90 persen hilangnya keragaman hayati dan tekanan air. ” Ini menunjukkan kita membajak sumber daya terbatas di planet ini seolah tak ada hari esok,” kata Joyce Msyua, Pejabat Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB.................SUMBER, KOMPAS, RABU 13 MARET 2019, HALAMAN 10

Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018