Perpustakaan Emil Salim

Sekertariat Jenderal
Pusat Data dan Informasi
Bidang Pengelolaan Informasi

Perpustakaan

PERMOHONAN MAAF KAMI SAMPAIKAN KE SELURUH ANGGOTA PREMIUM JIKA ADA FILE YANG TDK DAPAT DIUNDUH. DIMOHON UNTUK MEMBERITAHUKAN VIA EMAIL KE : emilsalimlibrary@gmail.com DAN KAMI AKAN MENGIRIMKAN FULLTEKS KE EMAIL ANGGOTA -

HUTAN PANTAI, BENTENG TELUK PALU

HUTAN PANTAI, BENTENG TELUK PALU

HUTAN PANTAI, BENTENG TELUK PALU

Tsunami yang melanda Teluk Palu pada 28 September 2018 lalu memberi pelajaran tentang pentingnya mitigasi bencana wilayah pesisir. Selain mengedukasi masyarakat untuk segera menjauhi pantai begitu merasakan gempa kuat, diperlukan rekayasa fisik. Namun, upaya mitigasi ini tidak bisa semata-mata meniru negara lain yang memiliki lingkungan dan dinamika sosial berbeda.

​Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI) Gegar Prasetya menyebutkan, Selat Makasar dan Teluk  sebagai daerah yang memiliki kerentaan tsunami sangat tinggi dengan perulangan sekitar 25 tahun sekali. Menurut kajiannya, sebelum 2018, tsunami telah terjadi di Teluk Palu dan Selat Makassar pada tahun 1996, 1968, 1938, dan 1927.

 

​Dengan alasan mitigasi tsunami ke depan, pemerintah telah mewacanakan pembangunan tanggul di pesisir Teluk Palu. Gagasan ini awalnya dimunculkan Japan International Corporation Agency (JICA), dengan menggunakan preseden Jepang (Kompas, 27/11/2018).

​Wacana ini mendapat penentangan dari para ilmuwan di Indonesia, termasuk Gegar. “Pantai Indonesia yang rentan tsunami sangat banyak. Jika solusinya tanggul semua, tentu akan butuh biaya besar. Harus dicari solusi lain yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia,” kata Gegar.

​Selain mempersoalkan subtansi tanggul yang dinilai tidak cocok, Gegar dan tim juga berhaap pemerintah lebih melibatkan ilmuwan Indonesia dalam perencanaan daerah bencana. Apalagi, Presiden Joko Widodo juga sudah mengamantkan agar upaya penanggulangan bencana melibatkan para pakar.

​“Di Indonesia sudah ada ahli yang secara spesifik belajar mengenai proteksi tsunami. Ini harusnya diberdayakan agar bencana ini juga menjadi pengetahuan dan pelajaran bagi kita. Apalagi, sebagian besar dana untuk rehabilitasi Palu ini dari hutang. Kita harus hati-hati agar tidak membebani generasi mendatang,” kata Gegar.

Karakter lokal

​Peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dinar Catur Istiyanto mengatakan, upaya perlindungan kawasan pesisir harus memperhitungkan kondisi bentang alam setempat, karakter dan periode perulangan gempa serta tsunami di daerah tersebut, selain juga dinamika sosial budaya masyarakat.

​“Aktivitas Palu-Koro ini sangat aktif dengan jalur sesar yang melalui teluk. Selain gempa juga ada ancaman likuefaksi, sehingga kalau mengandalkan struktur tanggul bisa gagal karena rusak saat gempanya. Mungkin bisa dibangun struktur yang tahan gempa skala tertentu, tetapi akan berimplikasi pada biaya,” kata Dinar, yang pernah lima tahun melakukan studi postdoctoral di Jepang, khusus mempelajari mengenai proteksi pesisir dari tsunami.

Jepang yang memiliki keleluaasaan anggaran cenderung mengandalkan rekayasa fisik dalam mitigasi bencana. Namun, dengan keterbatasan anggaran kita, upaya proteksi Teluk Palu dengan mengandalkan struktur tanggul tidak cocok karena menjadi sangat mahal.

​“Apalagi, karakter tsunami Palu seperti yang lalu berupa gelombang pendek dengan landaan hanya beberapa ratus meter dari pantai sehingga bisa dengan  solusi lain yang lebih murah, serta ramah lingkungan dan sosial,” kata Dinar, yang pada tahun 2010 pernah menyusun standar perencaan dan desain mitigasi pesisir dengan vegetasi dengan dukungan UNESCO.

​Dinar mengusulkan, solusi untuk mitigasi tsunami Teluk Palu ke depan berupa optimaliasi sempadan pantai dan dikombinasikan dengan vegetasi. “Daerah yang terdampak tsunami sebaiknya dikosongkan dan dijadikanhutan pantai. Untuk memperkuat proteksi, bisa dilapisan berikutnya bisa dibangun jalan yang ditinggikan, baru permukiman,” katanya.

​Semeidi Husrin, peneliti tsunami dari Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan(KKP), mendukung perlindungan pesisir Teluk Palu dengan vegetasi. “Hutan pantai dengan ketebalan (lebar) 75 meter terbukti efektif meredam energi tsunami hingga 70 persen,” kata Semeidi, yang studi doktoralnya di TU Braunschweig, Jerman spesifik mempelajari redaman energi gelombang tsunami oleh hutan pantai.

Menurut Semeidi, hutan bakau merupakan salah satu jenis vegetasi yang memiliki kemampuan terbaik meredam energi tsunami karena kerapatan dan sistem perakarannya yang kuat. Selain itu, kita juga memiliki beragam tanaman keras yang bisa ditanaman di pantai dengan perakaran yang kuat.

​Bakau cocok untuk pantai yang secara reguler tergenang dan kering,  ada substrat berlumpur, suplai air tawar. “Bakau tanaman khas tropis yang tidak ada di Jepang. Selain untuk proteksi pesisir, ini juga mendukung habitat ikan,” kata dia. “Berbeda dengan tanggul yang semakin tua usianya semakin rapuh, hutan pantai semakin tua dan rapat akan semakin baik.”

​Survei yang dilakukan peneliti tsunami BPPT Widjo Kongko juga menemukan, kawasan pesisir di Palu-Donggala yang terlindung bakau cenderung selamat dari terjangan tsunami. Hal ini misalnya ditemukan di Desa Kabonga dan Labuhan Bajo, Kabupaten Donggala.

​Hutan bakau denhan panjang 3 km dan lebar 50 – 75 meter di dua kawasan ini cukup efektif mereduksi tsunami dari ketinggian 3-5 meter menjadi 1-1,5 meter. Energi tsunami yang melemah setelah melalui hutan pantai ini menyebabkan tak adanya kerusakan rumah di desa-desa ini.

​Menurut Gegar, selain meredam energi aliran tsunami, sejumlah kajian ilmiah juga menunjukkan, tanaman pantai bisa menghalangi aliran material yangterbawa tsunami seperti perahu atau rumah. Bahkan, pepohonan ini juga bisa menjadi media penyelamatan darurat saat terbawa tsunami.

​Namun diakui, hutan pantai memiliki keterbatasan dalam menghadapi tsunami. “Hutan pantai hanya mampu meredam tsunami yang ketinggiannya di bawah kanopi pohon, sekitar 5 meteran. Jika tsunaminya sebesar Aceh 2004, hutan pantai akan terbongkar juga. Namun, tanggul beton juga tidak efektif jika tsunaminya besar seperti terjadi di Jepang 2011. Oleh karena itu, sempadan pantai harus dijaga dari hunian,” kata Semeidi.

​Dinar mengatakan, gelombang panjang tsunami mampu melimpasi tanggul laut yang ketinggiannya di permukaan air mencapai 10 meter, seperti terjadi di Taro, Kota Miyako. Begitu melewati tanggul, air tsunami kemudian terjebak di dalamnya sehingga menjadi masalah baru. Selain itu, dalam kasus Jepang 2011, menurut Dinar, tanggul laut memicu muncunya rasa aman palsu. Banyak masyarakat yang tidak segera mengungsi karena merasa aman terlindungi oleh tanggul raksasa ini.

​Semeidi mengatakan, di Indonesia, tanggul laut juga bisa memicu persoalan yang sama. Begitu ditanggul, bangunan akan tumbuh di belakangnya dengan cepat. “Makanya, saya usulkan tidak usah ditanggul, tetapi dibiarkan daerah yang turun dan sekarang terendam air dan kemudian dijadikan hutan pantai. Di pantai Kota Palu ini dulunya hutan bakau sebelum kemudian diurug,” kata dia.

​Dinar menambahkan, daripada uang dari hutang untuk membangun tanggul tsunami, akan lebih berguna jika dipakai untuk perlahan membangun fasilitas kota baru. “Buat perencanaan kota baru yang lebih aman dan daerah yang berisiko secara bertahap dikurangi,” ujarnya.

​Kini, pilihan ada di tangan pemerintah pusat dan daerah. Namun, masyarakat Teluk Palu juga sebenarnya memiliki hak memilih desain terbaik untuk kotanya. Dalam kasus pemulihan Jepang pascatsunami 2011, butuh waktu tiga tahun dan puluhan pertemuan dan dialog di tiap komunitas untuk kemudian disetujui desain yang diinginkan. Kenapa kini di Teluk Palu terburu-buruharus membangun tanggul?..................SUMBER, KOMPAS, KAMIS 21 FEBRUARI 2019, HALAMAN 14

Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018