Perpustakaan Emil Salim

Sekertariat Jenderal
Pusat Data dan Informasi
Bidang Pengelolaan Informasi

Perpustakaan

PERMOHONAN MAAF KAMI SAMPAIKAN KE SELURUH ANGGOTA PREMIUM JIKA ADA FILE YANG TDK DAPAT DIUNDUH. DIMOHON UNTUK MEMBERITAHUKAN VIA EMAIL KE : emilsalimlibrary@gmail.com DAN KAMI AKAN MENGIRIMKAN FULLTEKS KE EMAIL ANGGOTA -

BERTARUNG MENGURANGI SAMPAH

BERTARUNG MENGURANGI SAMPAH

BERTARUNG MENGURANGI SAMPAH

Berkejaran dengan produksi sampah yang  terus menggunung, segala upaya mereduksi sampah mesti dilakukan. Penggunaan teknologi jadi vital, meski tetap harus aman.

Inovasi pengelolaan sampah di Kota Bekasi menjadi hal yang vital, karena kota tersebut menampung sampah hampir 13 juta orang, baik dari dalam Kota Bekasi maupun dari DKI Jakarta. Sejak 2016, kerja sama pemerintah kota dengan pihak swasta untuk membangun pembangkit listrik tenaga sampah telah dilakukan. Namun, operasionalisasi teknologi tersebut masih terkendala sejumlah persoalan.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Jumhana Luthfi di Bekasi, Selasa (19/2/2019), mengatakan, pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu merupakan pertaruhan sekaligus tantangan berat. Melalui teknologi tersebut, Kota Bekasi ingin membuktikan bahwa penyelesaian persoalan sampah bisa dimulai lokasi berdirinya tempat sampah terbesar di Indonesia.

Di Kecamatan Bantargebang, terdapat Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang milik DKI Jakarta seluas 110 hektare (ha) yang berjarak sekitar 2 kilometer (km) dengan TPA Sumur Batu yang luasnya mencapai 19 ha. Sekitar 1 km dari Sumur Batu, berdiri TPA Burangkeng, Kabupaten Bekasi, seluas 11,6 ha. Total luas kawasan pembuangan sampah itu sekitar 140 ha atau sepersepuluh dari total luas Kecamatan Bantargebang. Aneka persoalan mulai dari bau hingga ancaman pencemaran dan penyakit membelit warga setempat setiap hari.

Meski berada dalam satu kawasan dalam radius 3 km, tetapi kondisi ketiga tempat pembuangan itu berbeda. TPST Bantargebang sudah menggunakan metode sanitary land fill atau melapisi gunung sampah dengan geomembran. Terdapat pula instalasi produksi kompos serta pengolahan gas methan dan air lindi yang disedot dari gunungan sampah.

Di TPST Bantargebang, tidak ada pula sampah berceceran di seluruh areal. Bahkan beberapa bagian dibuat seperti taman yang indah, laiknya tempat wisata. Pemerintah Provinsi DKI juga memberikan uang kompensasi kepada warga di tiga kelurahan yang terdampak langsung keberadaan TPST.

Sementara itu, TPA Sumur Batu dan TPA Burangkeng masih menggunakan metode penumpukan terbuka atau open dumping. Selama belasan tahun sampah ditumpuk, diratakan dengan alat berat, dan sebagian yang masih bisa diolah dikumpulkan oleh pemulung.

Keduanya TPA juga sudah kelebihan kapasitas atau overload selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, tepi jalan di areal TPA dipenuhi sampah dan air lindi. Kerumunan lalat ada dimana-mana, begitu pula bau busuk.

“TPA Sumur Batu sudah kelebihan kapasitas, sehingga tidak semua hasil produksi sampah harian bisa dibuang ke sana,” kata Jumhana. Dari total produksi 1.900 ton sampah per hari, hanya 900 ton yang dapat masuk TPA. Padahal, tahun ini TPA itu sudah diperluas dari 16 ha menjadi 19 ha.

Jumhana menambahkan, pengolahan sampah di TPA Sumur Batu juga tidak bisa optimal. Meski penumpukan sampah secara terbuka atau open dumping dilarang dalam Pasal 29 ayat (1) poin F Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, metode itu tetap dilakukan.

“Sampah di TPA Sumur Batu itu memang harus dimusnahkan, tidak bisa lagi dikelola,” kata Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi. Saat ini, tumpukan sampah terbagi menjadi empat gunungan. Setiap gunung diameternya sekitar 70 meter. Adapun total sampah itu beratnya mencapai 50 juta ton.

Oleh karena itu, pada 2015 Pemerintah Kota Bekasi menyelenggarakan lelang terbuka pembangunan PLTSa yang dimenangkan oleh PT Nusa Wijaya Abadi (NWA). Keduanya resmi bekerja sama selama 20 tahun sejak 2016.

Kota Bekasi juga mengajukan diri untuk diikutsertakan dalam program percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah yang diinisiasi oleh presiden. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah, terdapat satu provinsi dan enam kota yang berwenang untuk mengembangkan PLTSa. Daerah itu adalah DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar.

Upaya yang dilakukan Kota Bekasi berhasil. Pada April 2018, terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan sekaligus mencabut Perpres No 18/2016. Dalam Perpres itu, terdapat 11 kota dan satu provinsi yang diberi wewenang untuk membangun PLTSa, salah satunya Kota Bekasi.

Selangkah maju

Sementara pemerintah kota berupaya di ranah regulasi, PT NWA melakukan hal serupa dalam ranah teknis. Sejak bekerja sama pada 2016, pengembangan PLTSa segera dilakukan hingga alat siap pada Agustus 2017. Peralatan itu sudah terpasang di atas lahan seluas 200 meter persegi di TPA Sumur Batu.

Presiden Direktur PT NWA Tenno Sujarwanto mengatakan, PLTSa dikembangkan dengan teknologi circulating heat combusting boiler (CHCB). Teknologi itu menggunakan sampah sisa atau refuse derived fuel (RDF) sebagai bahan bakar yang memproduksi uap untuk menggerakkan turbin dan generator hingga menghasilkan listrik. Adapun RDF didapat dengan pemilahan sampah organik dan anorganik dari gunung sampah.

Menurut dia, teknologi tersebut pertama kali diterapkan di Indonesia. Kota-kota lain yang mengklaim telah memiliki PLTSa belum memusnahkan sampah secara keseluruhan. “Kebanyakan masih menggunakan gas metana sebagai bahan bakar pembangkit listrik, sehingga tumpukan sampah tidak hilang,” kata Tenno.

Ia mengklaim, teknologi yang dikembangkan juga ramah lingkungan. Sebab, PLTSa bekerja dengan suhu di atas 1.000 derajat celcius, melebihi ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu suhu minimal 850 derajat celcius. Suhu minimal itu penting untuk memastikan dioksin yang terdapat di sampah plastik tereduksi. Sebab, dioksin yang terkandung dalam gas buang PLTSa dapat menyebabkan kanker.

Meski demikian, PLTSa belum bisa beroperasi secara resmi. Berdasarkan ketentuan Perpres No 18/2018, perusahaan harus menyelesaikan kesepakatan pembelian energi atau power purchase agreement (PPA) dengan PT PLN (Persero). Oleh karena itu, PLTSa di TPA Sumur Batu hanya digunakan beberapa kali untuk demonstrasi kepada sejumlah pihak.

Salah satunya saat uji coba selama 24 jam pada 5-6 Februari lalu. Selama uji coba PLTSa mampu memusnahkan sampah sebanyak 3,3 ton per jam, dengan suhu mencapai 1.323 derajat celcius, dan menghasilkan listrik sebesar 1,5 megawatt.

Tenno mengatakan, berdasarkan ketentuan PT PLN (Persero) energi listrik akan dibeli jika mencapai 9 megawatt. Oleh karena itu, jika sudah mendapatkan PPA, pihaknya akan menambah tiga unit PLTSa di tiga titik gunungan sampah TPA Sumur Batu.

Setiap unit mampu memproduksi listrik 3 MW dengan total sampah yang dimusnahkan 1.200 ton per hari atau sekitar 80 persen dari rata-rata sampah yang dihasilkan Kota Bekasi per hari. Dalam sehari, Kota Bekasi menghasilkan sekitar 1.500 ton sampah.

Tenno mengatakan, baik pembangunan maupun uji coba seluruhnya tidak menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Padahal, dalam Pasal 14 ayat (3) Perpres No 18/2018, pemerintah daerah dapat memberikan bantuan biaya layanan pengolahan sampah paling tinggi Rp 500.000 per ton sampah.

Selain itu, pengembangan PLTSa di kota-kota lain selalu didahului penerbitan PPA. Tidak ada pengembang yang bersedia menanam modal lebih dulu sebelum ada kepastian pembelian listrik yang diproduksi.

“Kami ingin membuktikan bahwa PLTSa yang benar-benar memusnahkan sampah itu bisa ada dan kami ingin memulainya di Kota Bekasi,” ujar Tenno. Hal itu didorong keinginan untuk berbakti sebagai warga Kota Bekasi.

Hati-hati

Asisten Manajer Komunikasi PLT Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Barat Eriga Wahyuwiranti mengatakan, PT NWA telah mengajukan PPA namun belum bisa ditindaklanjuti. Pengajuan pembelian listrik masih berubah-ubah, dari 34,6 megawatt menjadi 19 megawatt kemudian menjadi 9 megawatt.

Beberapa dokumen persyaratan juga belum disertakan, yaitu uji kelaikan atau feasibility study dan surat penunjukan dari pemerintah kota pun belum ada.

“Jika seluruh persyaratan sudah diserahkan dan memenuhi ketentuan, penilaian dan penerbitan PPA membutuhkan waktu sekitar 30 hari,” kata Eriga.

Tenno mengakui, pada pengajuan sebelumnya feasibility study yang diserahkan belum memenuhi ketentuan PT PLN karena uji kelaikan dilakukan oleh konsultan dari Jerman. Saat ini, pihaknya menggandeng konsultan lokal berdasarkan rekomendasi PT PLN untuk menilai kembali. “Kami menargetkan, akhir Februari 2019 feasibility study sudah selesai,” ujar dia.

Sementara itu, Wali Kota Bekasi juga belum bisa mengirimkan rekomendasi kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengenai kelaikan PLTSa yang dikembangkan PT NWA. Dalam Pasal 10 ayat (1) Perpres No 35/2018, dijelaskan bahwa surat itu merupakan dasar bagi Menteri ESDM menugaskan PT PLN untuk membeli listrik dari pengembang PLTSa.

Namun, surat rekomendasi wali kota harus dilampirkan sejumlah dokumen, di antaranya profil pengelola, lokasi, dan kapasitas PLTSa. Selain itu, rencana waktu operasi komersial atau commercial operation date (COD) serta surat penugasan badan usaha milik daerah (BUMD) atau penetapan pemenang kompetisi pengelola sampah dan pengembang PLTSa perlu pula disertakan.

“Berdasarkan hasil uji coba pada 5-6 Februari lalu, kami sudah punya kesimpulan sementara, tetapi itu perlu dikuatkan dengan satu kali uji coba lagi,” kata Jumhana. Ia mengatakan, uji coba akan dilakukan mulai 28 Februari selama 2 x 24 jam. Salah satu aspek yang dinilai adalah kemampuan memusnahkan sampah sebanyak 150 ton per hari.

Jumhana menjelaskan, pihaknya juga harus cermat dan benar-benar memastikan bahwa PLTSa ramah lingkungan. Sebab, segala risiko akan menjadi tanggung jawab pemerintah. “Selain itu, latar belakang kami itu kan mengajukan diri (kepada pemerintah pusat), jadi kami harus serius sekaligus hati-hati betul dalam menentukan kebijakan mengenai PLTSa ini,” kata dia.

Beragam persoalan yang membelit ini membuat kita harus terus bersabar sebelum melihat TPSa beroperasi kelak......................SUMBER, KOMPAS, RABU 20 FEBRUARI 2019, HALAMAN 20

Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018