Perpustakaan Emil Salim

Sekertariat Jenderal
Pusat Data dan Informasi
Bidang Pengelolaan Informasi

Perpustakaan

PERMOHONAN MAAF KAMI SAMPAIKAN KE SELURUH ANGGOTA PREMIUM JIKA ADA FILE YANG TDK DAPAT DIUNDUH. DIMOHON UNTUK MEMBERITAHUKAN VIA EMAIL KE : emilsalimlibrary@gmail.com DAN KAMI AKAN MENGIRIMKAN FULLTEKS KE EMAIL ANGGOTA -

SETELAH PESTA LAUT SELESAI, SAATNYA AKSI

SETELAH PESTA LAUT SELESAI, SAATNYA AKSI

SETELAH PESTA LAUT SELESAI, SAATNYA AKSI

Bukan kebetulan ketika Konferensi Kelautan atau Our Ocean Conference beserta Pertemuan Tinjauan Antarpemerintah terkait Polusi Laut dari Aktivitas Daratan digelar berentetan di Nusa Dua Bali, pekan lalu. Dua momen dengan kepentingan dan aktornya masing-masing ini memiliki pesan kuat untuk memperbaiki kondisi laut yang diyakini menjadi masa depan umat manusia, namun kini kondisinya bak comberan besar.

Our Ocean, Our Legacy atau Laut Kita, Warisan Kita menjadi tema yang mewarnai Konferensi Kelautan. Dalam konferensi yang dihadiri ribuan orang dari elemen pemerintah, kelompok masyarakat sipil, dunia usaha, dan akademisi ini menghasilkan 305 komitmen yang bernilai 10,7 miliar dollar Amerika Serikat. Nilai ini penting disebut untuk menunjukkan keseriusan komitmen para pihak.

Angka yang tampak besar itu masih terlalu kecil apabila dibandingkan dengan  peruntukannya yang tidak hanya untuk mengatasi polusi laut, khususnya sampah plastik yang mewarnai konferensi. Dana sebesar itu diikrarkan pula untuk pengendalian perubahan iklim, ekonomi biru berkelanjutan, keamanan laut, kawasan konservasi laut, dan perikanan berkelanjutan.

Tulisan ini memang hanya akan fokus pada polusi laut yang disebut-sebut memiliki komitmen terbesar. Dari komitmen yang dirinci dalam situs Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2 November 2018, catatan Kompas, Pemerintah Indonesia mencanangkan lima poin terkait polusi laut atau hampir sama dengan isu-isu lain. Hanya saja, komitmen di luar pemerintah Indonesia – termasuk NGO, dunia usaha, negara tetangga, dan donor – mencapai 20 poin dengan mencanangkan berbagai program yang akan dijalankan di Indonesia.

Di tingkat hulu, perusahaan-perusahaan besar yang selama ini kemasannya menjadi sampah yang membebani lingkungan pun melakukan inovasi dengan mengganti kemasan. Misalnya saja Danone yang memanfaatkan OOC untuk meluncurkan tampilan kemasan botol plastik (PET) tanpa stiker label. Ada pula Nestle, Unilever, dan Coca-cola yang menjanjikan pada tahun 2025 kemasannya 100 persen dapat didaur ulang dan disusul sebagian produk kemasannya berasal dari produk daur ulang.Belum lagi kolaborasi raksasa Pepsico, Coca-cola, Unilever, Procter & Gamble, dan Dow yang pada kegiatan OOC kemarin berkomitmen menaruh investasi senilai 90 juta dollar AS pada lembaga finansial Circulate Capital untuk mendanai start up, komunitas, maupun usaha kecil pengelolaan dan pengolahan kemasan plastik.

Meski mengelola dana sedemikian besar, kritik Rob Kaplan, pendiri Circulate Capital, angka ini masih sangat kecil dibandingkan biaya produksi plastik mereka yang mencapai 13 miliar dollar AS. Untuk mengatasi permasalahan pengumpulan dan pengolahan yang kompleks biasanya membutuhkan dana lebih besar.

“Niat baik” produsen ini ditanggapi dingin oleh Aliansi Zero Waste. Mereka menyatakan langkah perusahaan penghasil sampah kemasan plastik mengganti kemasan yang 100 persen dapat didaur ulang, tak memastikan lingkungan laut akan bebas dari sampah tersebut. Buktinya hingga kini kemasan plastik berbahan PET dan PP yang laku didaur ulang masih mengotori sungai dan laut.

Tanggung jawab produsen

Untungnya, Indonesia dalam pertemuan OOC kemarin tetap menyodorkan kembali komitmen pengenaan tanggung jawab produsen (extended producer responsibility/EPR). Ini sedikit menjawab kritik Aliansi Zero Waste.

Model EPR ini menambal potensi sampah kemasan terlepas ke alam karena perusahaan wajib menarik kembali kemasan yang dihasilkan.  Hanya saja, EPR ini sejak dibahas enam tahun lalu belum menunjukkan hasil yang matang. Keberatan dari sektor industri yang menilainya sebagai beban dan mengganggu investasi menjadi perdebatan sendiri.

Dari sisi pemerintah, Indonesia memasukkan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis dan Perpres 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut sebagai komitmen. Warga dunia pun mencatat janji Indonesia akan menggunakan sampah plastik yang dikumpulkan dari laut untuk campuran aspal 5-7 persen dalam pembangunan jalan pada 2018-2025.

Selain itu, ada pula komitmen pemerintah Indonesia bahwa melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil/LSM akan mempromosikan 40 langkah pemerintah daerah pada 2025 untuk berhenti menggunakan kantong plastik di pasar modern. Saat ini baru Banjarmasin, Balikpapan, Kota Bogor, dan Denpasar yang disebut-sebut telah menjalankan pelarangan pemakaian kantong plastik di pasar modern/ritel.Direktur Pengendalian Sampah KLHK Novrizal Tahar pun mengatakan pelarangan pemakaian kantong plastik sekali pakai bakal terus menjadi tren di berbagai daerah. Bahkan beberapa franchise (waralaba) makanan dan restoran memilih tak lagi menyediakan sedotan plastik dan kemasan styrofoam. Ini selaras dengan semangat pengurangan sampah seperti yang menjadi roh dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008.

Di Indonesia, peran pemerintah masih sangat kuat. Stik pemukul – selain intensif – berupa pelarangan, pengaturan masih menjadi alat untuk mengarahkan masyarakat. Misal praktik baik Syahbandar di Labuan Bajo yang mengharuskan kapal-kapal wisata membawa sampah-sampahnya ke daratan. Meski kesiapan di darat masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri.

Arti penting pemerintah ini yang kemarin didorong untuk terus menjadi pemain penting dalam pengendalian polusi laut dalam Tinjauan Antarpemerintah (IGR-4) Program Aksi Global UN Environment di Bali yang diikuti perwakilan 89 negara usai penyelenggaraan OOC. Negosiasi yang menghasilkan Deklarasi Bali ini menitikberatkan arti penting kolaborasi pemerintah, sektor usaha, kelompok masyarakat sipil, dan akademisi secara global maupun lokal dalam perlindungan ekosistem laut dan pantai dari aktivitas berbasis lahan dan sumber-sumber polusi.

Kolaborasi, seperti pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan saat pelaksanaan OOC, diperlukan untuk melawan sampah plastik yang kini menjadi musuh bersama setiap manusia dan makhluk hidup di lautan. “Kita butuh berkolaborasi karena itu oksigen bagi kita untuk bekerja,” kata Luhut.

Karena itu, saatnya setiap pihak untuk beraksi dalam kontribusi masing-masing. Bila ada aksi nyata dan tak hanya berakhir di pembicaraan ruang konferensi ber-pendingin udara, perubahan itu pasti akan tampak.....................SUMBER, KOMPAS, KAMIS 8 NOPEMBER 2018, HALAMAN 10

Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018