Perpustakaan Emil Salim

Sekertariat Jenderal
Pusat Data dan Informasi
Bidang Pengelolaan Informasi

Perpustakaan

PERMOHONAN MAAF KAMI SAMPAIKAN KE SELURUH ANGGOTA PREMIUM JIKA ADA FILE YANG TDK DAPAT DIUNDUH. DIMOHON UNTUK MEMBERITAHUKAN VIA EMAIL KE : emilsalimlibrary@gmail.com DAN KAMI AKAN MENGIRIMKAN FULLTEKS KE EMAIL ANGGOTA -

PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN : SAGU PAPUA, SUMBER PANGAN BERKELANJUTAN

PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN : SAGU PAPUA, SUMBER PANGAN BERKELANJUTAN

PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN : SAGU PAPUA, SUMBER PANGAN BERKELANJUTAN

Setiap tahun, jutaan ton potensi sagu alam di Papua terbuang percuma karena mati tanpa dipanen.  Industrialisasi sagu yang kini dikembangkan di Sorong Selatan berpeluang menjawab kebutuhan pangan nasional, selain untuk mengembangkan ekonomi daerah yang berkelanjutan.

“ Dari survei di area konsesi kami, rata-rata ada 30 pohon sagu per hektar (ha) lahan siap panen tiap tahun. Jika pohon sagu ini tidak segera dipanen akan mati sia-sia,” kata Kepala Regional PT Austindo Nusantara Jaya Agri Papua (ANJAP) Christianus SA, di Sorong Selatan.

PT ANJAP memiliki konsesi hutan sagu seluas 40.000 ha di Distrik Metamane, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. Di antara konsesi ini, sekitar 10.000 ha di antaranya dicadangkan sebagai area konservasi. “Pohon sagu alam di Papua rata-rata bisa dipanen setelah umur 12 tahun. Jika lebih dari itu umumnya akan mati,” ujarnya.

Dari masa siap panen atau istilah lokalnya fase bunting hingga mati hanya ada jeda sekitar dua tahun. Setelah dipanen dengan sistem tebang pilih, di rumpun yang sama bisa dipanen lagi dua tahun kemudian. “Beda dengan pohon kayu, sagu ini memiliki kemampuan regenerasi cepat karena anakannya tumbuh dengan sistem rumpun. Jadi setelah dipanen, dua tahun kemudian adiknya siap ditebang lagi,” kata dia.

Christianus menambahkan, produksi sagu juga relatif lebih ramah lingkungan karena tidak mengubah bentang alam secara masif. “Untuk industri sagu justru kita usahakan mempertahankan kondisi alam. Habitat sagu di rawa-rawa dan daerah gambut yang basah tidak boleh dikeringkan, beda dengan sawit misalnya,” ungkapnya.

Saat ini PT ANJAP baru bisa memproduksi 1.000 tual sagu per hari atau sekitar 10 ton sagu per hari dengan kapasitas pabrik 6.000 tual per hari. Target mereka bisa menambah produksi jadi 1.500 tual per hari pada Oktober tahun ini dan jadi 3.000 tual per hari pada pertengahan 2019 dan 5.500 tual per hari tahun 2020.

Satu tual merupakan ukuran batang satu setelah dipotong per meter. Rata-rata satu batang sagu alam di Papua bisa dibagi menjadi 10 – 12 tual. “Bahkan, setelah nanti produksi kami mencapai 5.500 tual per hari pun masih banyak pohon sagu di konsesi kami yang akan mati alami karena banyaknya potensi,” kata dia.

Potensi sagu di Papua amat besar dan selama ini belum termanfaatkan secara optimal. Apalagi saat ini konsumsi sagu secara tradisional di Papua juga semakin tergusur oleh bahan makanan lain, terutama beras.

Data dari Mochammad Bintoro, Guru Besar Instritur Pertanian Bogor (IPB) yang juga Ketua Masyarakat Sagu Indonesia (MASSI), luasan sagu Indonesia saat ini mencapai 5,2 juta hektar atau lebih dari 60 persen cadangan sagu global. Seluas 4,75 ha lahan sagu terdapat di Papua dan Papua Barat. Sisanya terdapat di Maluku, Riau, Kepulauan Riau dan Mentawai.

Selain PT ANJAP, di Papua Barat juga terdapat perusahaan sagu yang dikelola Perum Perhutani di Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan. Lahan konsesi mereka mencapai 16.000 ha. Pada tahun 2015 Presiden Joko Widodo pernah mengunjungi pabrik sagu milik Perum Perhutani ini.

Dengan potensi lahan sagu Papua yang mencapai jutaan ha dan kapasitas produksi saat ini yang masih kecil artinya ada jutaan ton sumber pangan yang hilang. Padahal ini bisa menjawab kebutuhan pangan kita yang saat ini masih banyak impor.

Permintaan Tinggi

Kepala Penjualan dan Pemasaran PT ANJAP Laurent Suryadarma mengatakan, saat ini permintaan pasar terhadap tepung sagu sangat tinggi. “Kalaupun nanti produksi kami sudah maksimal, masih akan terserap pasar karena permintaan sangat tinggi,” kata dia.

Untuk produk pangan, tepung sagu bisa menggantikan tepung tapioka, misalnya untuk industri sosis dan bakso. Bahkan untuk industri soun yang terbaik pakai sagu selain juga beberapa produk kue. “Untuk pasar luar negeri yang potensial adalah Jepang, karena tepung sagu dibutuhkan untuk produk akhir mi udon atau ramen mereka. Selama ini mereka impor sagu dari Malaysia dan belakang kami mulai menjajaki mengirim ke sana. Peluangnya besar,” ucapnya.

Sementara Direktur PT ANJAP Djianto Hormen mengatakan, tepung sagu juga bisa menjadi alternatif pangan sehat karena bebas gluten dan indeks glikemik yang rendah. “Untuk sagu alam Papua yang kami produksi juga prosesnya organik, karena dipanen dari alam dan prosesnya tanpa ditambahkan bahan kimia ataupun pemutih,” kata dia.................SUMBER, KOMPAS, RABU 5 SEPTEMBER 2018, HALAMAN 10

Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018