Perpustakaan Emil Salim

Sekertariat Jenderal
Pusat Data dan Informasi
Bidang Pengelolaan Informasi

Perpustakaan

GUGATAN WARGA : PENANGANAN KEBAKARAN LAHAN BELUM MAKSIMAL

GUGATAN WARGA : PENANGANAN KEBAKARAN LAHAN BELUM MAKSIMAL

GUGATAN WARGA : PENANGANAN KEBAKARAN LAHAN BELUM MAKSIMAL

Putusan banding Pengadilan Tinggi Palangkaraya di Kalimantan Tengah yang tetap menghukum Presiden dan jajarannya agar dimaknai positif untuk perbaikan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan beserta penegakan hukumnya. Sejumlah penguatan regulasi telah dilakukan pemerintah meskipun belum lengkap seperti moratorium perkebunan sawit yang dijanjikan  oleh Presiden Joko Widodo.

Di sisi lain, putusan banding serta masih munculnya kabut asap di berbagai daerah saat ini, pun agar mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk menagih aparat penegak hukumnya atas penanganan kasus-kasus kebakaran hutan yang melibatkan korporasi. Sejumlah kasus pidana korporasi kebakaran hutan dan lahan tak jelas penanganannya.

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Palangkaraya dalam putusan tertanggal 22 Maret 2017 menyatakan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya yang memvonis Presiden Joko Widodo, empat menteri, Gubernur Kalteng, dan DPRD Provinsi Kalteng bersalah atau lalai dalam bencana asap yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan. Putusan itu mengabulkan gugatan warga (citizen law suit) yang diajukan para aktivis lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAs) Kalimantan Tengah, terkait kebakaran hutan dan lahan pada 2015.

Atas putusan itu, Presiden dihukum untuk menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan peran serta masyarakat, yang berupa tujuh peraturan pemerintah.

Tujuh peraturan pemerintah tersebut adalah PP tentang tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan Hidup; PP tentang baku mutu lingkungan; PP tentang kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan; PP tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup; PP tentang analisis risiko lingkungan hidup; PP tentang tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan PP tentang tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup.

Selain itu, Presiden juga dihukum untuk menerbitkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden yang menjadi dasar hukum terbentuknya tim gabungan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Pemerintah memutuskan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Pemerintah serius

Pakar kebakaran hutan dan lahan yang juga Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Bambang Hero Saharjo, Rabu (22/8/2018), di Jakarta, menilai, masa pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menangani kebakaran hutan dan lahan secara serius. Ia menunjukkan sejumlah regulasi di tingkat peraturan pemerintah hingga pelaksanaan teknis berupa peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diterbitkan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan.

Peraturan-peraturan tersebut antara lain Peraturan pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 yang merevisi PP 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Peraturan pemerintah ini telah diterjemahkan sedikitnya dalam 5 Peraturan Menteri LHK.

Regulasi lain yang menjadi hukuman bagi Presiden adalah menerbitkan PP Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup setahun lalu, yaitu PP 46/2017. Sedangkan hukuman menerbitkan PP tentang Baku Mutu Lingkungan, Baku Mutu Air, Baku Mutu Air Laut, Baku Mutu Udara Ambien, dan Baku Mutu Lain, sedang dilakukan pemerintah untuk memperbarui PP 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

“Saya ikut penyusunannya sejak beberapa tahun lalu,” kata Bambang Hero. Kendalanya hingga kini, lanjutnya, masih pada sisi ilmiah. Para pakar menginginkan baku mutu ini dibuat variasi sesuai karakter masing-masing ekoregion.

Kasus pidana tak jelas

Meski mengakui era Presiden Joko Widodo penanganan kebakaran hutan dan lahan lebih serius, ia memberikan catatan sejumlah kasus pidana korporasi kebakaran hutan dan lahan yang tak jelas. Kasus-kasusnya ditangani Polda hingga Bareskrim Polri.

Ia mencontohkan dua kasus kebakaran hutan dan lahan pada 2015 di perkebunan sawit di Melawi dan Ketapang yang hingga kini masih berstatus P19 atau melengkapi berkas. Selain itu juga kasus pidana kebakaran hutan dan lahan tahun 2014 atas PT BMH di Sumatera Selatan masih dipertanyakan padahal kasus perdata senilai Rp 7,9 triliun sudah dalam tingkat kasasi.

Satu contoh lagi, Bambang Hero menunjukkan kebakaran di lahan sawit PT TPR di Sumsel yang pada tahun 2015 didatangi Joko Widodo, hingga kini tak jelas penanganan kasusnya. Perusahaan itu malah  telah dibeli perusahaan asal Malaysia. “Selain itu, PT WM yang lahannya di depan PT TPR sudah diproses perdata dan pidananya,” kata dia.

Selain Presiden, gugatan itu juga dilayangkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan tata Ruang Kepala Badan Pertanahan nasional, serta Menteri kesehatan.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan, landasan gugatan pada peristiwa kebakaran hutan dan lahan tahun 2015. Saat itu, Joko Widodo baru saja menjabat sebagai Presiden.

Namun dari peristiwa itu, kata dia, berbagai langkah koreksi penanganan kebakaran hutan dan lahan dilakukan besar-besaran oleh Presiden Jokowi. Salah satunya meminta Menteri LHK Siti Nurbaya untuk tidak gentar melawan segala bentuk kejahatan yang menjadi penyebab bencana menahun itu.

“Bu Menteri sangat serius mengawal penegakan hukum karhutla (kebakaran hutan dan lahan), siapapun pelakunya harus diproses hukum. Bahkan kita lakukan proses hukum pada korporasi, dan ini belum pernah tersentuh sebelumnya,” kata Rasio.

Sejak 2015, kata Rasio, sudah ada 510 kasus pidana LHK dibawa ke pengadilan oleh penyidik gakkum KLHK, hampir 500 perusahaan yang tidak patuh telah dikenakan sanksi administratif, dan puluhan korporasi yang dinilai lalai menjaga lahan digugat secara perdata.

Sepanjang tahun 2015-2017, katanya, total putusan pengadilan yang sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkracht) untuk ganti kerugian dan pemulihan (perdata) mencapai Rp 17,82 triliun. Sedangkan untuk nilai pengganti kerugian lingkungan di luar pengadilan (PNBP) senilai Rp 36,59 miliar. Angka ini disebutnya menjadi yang terbesar dalam sejarah penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia.

“Penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan secara konsisten dan tegas, sesuai arahan Bu Menteri sebagai upaya untuk melaksanakan perintah konstitusi dan hak-hak masyarakat,” kata dia.

Pemerintah agar taat hukum

Sementara itu, masyarakat di Kalteng mendesak pemerintah untuk taat hukum dalam gugatan warga terkait kebakaran hutan dan lahan tersebut. Mereka menyayangkan keputusan pemerintah yang memilih kasasi daripada menuruti tuntutan warga untuk memenuhi fasilitas dan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup.

Gugatan warga tersebut diajukan para aktivis lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAs) Kalimantan Tengah. Mereka adalah Mantan Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas, Mantan Deputi Direktur Walhi Kalteng Afandy, Direktur Save Our Borneo Nordin (alm), Direktur JARI Mariaty A Niun, Koordinator Fire Watch Kalteng Faturokhman, Bendahara Walhi Kalteng Herlina, dan warga Kota Palangkaraya Kartika Sari. (Kompas, Rabu 12 Oktober 2017).

“Proses kasasi sudah berjalan satu tahun dan belum keluar putusannya. Kami kecewa dengan sikap pemerintah yang lebih mementingkan  banding dari pada kepentingan warga negara,” kata Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono, di Palangkaraya, Rabu (22/8/2018).

Menurut Dimas, tuntutan yang diajukan untuk kepentingan masyarakat dan untuk pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik dengan mempertimbangkan aspek lingkungan hidup. “Kami berharap MA memutuskan dengan seadil-adilnya dan menolak banding pemerintah demi kepentingan masyarakat Kalteng dan masyarakat Indonesia,” katanya.

Salah satu staf Save Our Borneo (SOB) Habibi, mengungkapkan, pemerintah seharusnya taat hukum dan menerbitkan kebijakan tersebut. Kebijakan yang dituntut masyarakat merupakan ujung tombak pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

“Di Kalimantan Tengah belum ada perusahaan dikenakan pidana meskipun lahan konsesinya terbakar. Itu bukti kalau tuntutan kami harus diakomodir untuk penegakan hukum yang lebih baik juga,” tambah Habibi.

Habibi mengatakan, peraturan pelaksana yang harus diterbitkan pemerintah di dalamnya juga mengatur kesiapan pemerintah untuk bisa mencegah kebakaran melalui evaluasi perizinan. Menurutnya, selama ini banyak kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalteng khususnya di lahan konsesi yang tidak tersentuh hukum.

“Ini saat yang tepat karena titik api terus bermunculan setiap hari, apa harus menunggu bencana asap lagi baru pemerintah sadar,” kata Habibi..................SUMBER, KOMPAS, KAMIS 23 AGUSTUS 2018, HALAMAN 14

Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018