Perpustakaan Emil Salim

Sekertariat Jenderal
Pusat Data dan Informasi
Bidang Pengelolaan Informasi

Perpustakaan

PERMOHONAN MAAF KAMI SAMPAIKAN KE SELURUH ANGGOTA PREMIUM JIKA ADA FILE YANG TDK DAPAT DIUNDUH. DIMOHON UNTUK MEMBERITAHUKAN VIA EMAIL KE : emilsalimlibrary@gmail.com DAN KAMI AKAN MENGIRIMKAN FULLTEKS KE EMAIL ANGGOTA -

MENAMPUNG AIR HUJAN UNTUK MINUM

MENAMPUNG AIR HUJAN UNTUK MINUM

MENAMPUNG AIR HUJAN UNTUK MINUM

Sudah 20 tahun, warga Desa Sungai Sekonyer, Kecamatan Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, menampung air hujan untuk dikonsumsi. Merkuri dari penambangan liar merusak sumber air mereka, Sungai Sekonyer. Saat ini, petambang sudah pergi, tetapi jejak racunnya tertinggal di tanah dan tubuh warga.

Jumat (20/4/2018) siang, dua kapal wisata bersandar di dermaga Desa Sungai Sekonyer. Tepat di sebelah pintu masuk desa terdapat patung orangutan berukuran besar.

Siang itu rombongan dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Kalteng datang untuk memberikan bantuan ke sekolah-sekolah di desa itu. Para tamu disambut sejumlah murid, kepala sekolah, guru-guru, beserta kepala desa.

Sejumlah pengunjung berswafoto di depan patung orangutan. Desa ini merupakan penyangga kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Turis kerap menginap di rumah warga sebelum menuju camp feeding orangutan di TNTP.

Akibat penambangan liar emas pada tahun 1980-an, desa ini kini kesulitan air bersih. Sebanyak 700 keluarga harus menampung air hujan untuk mendapatkan air bersih. Hampir di setiap rumah di desa ini memiliki tangki berukuran 300-500 liter. Tangki dipasang menempel pada atap rumah untuk menampung air hujan.

”Kami tak bisa lagi mengonsumsi air sungai karena tercemar. Di hulu sungai, sejak tahun 1980-an ada pertambangan liar. Tahun lalu mereka pergi. Meski demikian, sungai telanjur rusak,” kata Kepala Desa Sungai Sekonyer Suriansyah.

Di musim kemarau, mereka membeli air isi ulang seharga Rp 5.000 per galon di Kota Kecamatan Kumai, sekitar dua jam dari desa itu.

Tahun lalu, pemerintah kabupaten membuat sumur agar warga mendapatkan air bersih. Namun, air dari sumur tidak bisa dikonsumsi karena tanah juga tercemar. Saat diukur, pH (potensial hidrogen) air sumur 4. Hal itu menunjukkan tingkat keasaman yang cukup tinggi.

Hadeli (40), seorang warga, menuturkan, ia menghabiskan uang Rp 30.000 untuk membeli enam galon air per bulan untuk air minum dan masak.

”Itu sudah dihemat. Kalau tidak, mungkin bisa lebih. Kadang kalau tidak ada uang, terpaksa ambil di tangki,” kata Hadeli.

Hasil uji laboratorium yang dilakukan Balai TNTP, 19 April 2016, menunjukkan Sungai Sekonyer mengandung merkuri. Sampel diambil dari tiga titik di sungai itu, yakni daerah Cemantan, Lubang Hantu atau Aspai, dan Tebing Tinggi. Masing-masing sampel 2 liter air.

Kadar merkuri atau air raksa (Hg) di Cemantan 0,0016 miligram per liter (mg/L), sedangkan pH air 4,97. Di Tebing Tinggi, kadar Hg 0,0016 mg/L dan pH air 5,14. Sementara di Lubang Hantu, kadar Hg jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dua daerah lain, yakni 0,0594 mg/L dengan pH air 5,08.

Menurut Balai TNTP, tiga sampel tersebut mengandung merkuri yang melebihi ambang batas untuk air minum, yakni 0,001 mg/L. Dengan begitu, air tidak bisa dikonsumsi.

Selain air raksa, contoh air Sungai Sekonyer juga mengindikasikan beberapa kandungan zat kimia lain, tetapi belum melampaui ambang batas. Di antaranya arsen (As), klorida (Cl), kromium (Cr), kadmium (Cd), seng (Zn), timbal (Pb), nikel (Ni), dan tembaga (Cu).

”Sudah lama kami menampung air hujan. Sejak ada petambang liar, air berubah dan berbau,” kata Suriansyah.

Secara kasatmata, air Sungai Sekonyer berwarna hitam seperti air sungai di tanah gambut lain di Kalimantan. Namun, di Sungai Sekonyer warna hitamnya pekat dan sedikit berminyak.

Ngilu dan gatal

Siang itu, keramaian terlihat di Puskesmas Pembantu (Pustu) Desa Sungai Sekonyer. Kebanyakan pasien adalah para ibu bersama anak-anak mereka.

Eka Novita Sari, bidan di desa itu, mengatakan, sebagian besar warga mengeluhkan gejala sama, yakni ngilu di persendian dan gatal-gatal di sekujur tubuh.

Data Pustu Desa Sungai Sekonyer menunjukkan, ada tiga anak balita yang masuk dalam kategori Di Bawah Garis Merah pada Kartu Menuju Sehat. Artinya, berat badan anak balita hasil penimbangan lebih rendah dari berat badan normal anak sehat pada usia sama. Hal itu menunjukkan anak balita tersebut kekurangan gizi.

Selain itu, terdapat dua anak balita mengalami cerebral palsy, yakni gangguan gerak yang memengaruhi otot, kemampuan untuk bergerak secara terkoordinasi akibat kerusakan otak yang terjadi sebelum atau sesudah kelahiran.

”Kedua anak itu lumpuh. Mereka berada di Kumai untuk pengobatan intensif. Ibu kedua anak itu memiliki empat anak, tetapi dua anak lain sehat,” kata Novita.

Menurut Novita, selama ini ia bekerja sendirian. Seharusnya, satu pustu diisi dua tenaga kesehatan, minimal bidan dan perawat. Dokter pun hanya satu kali dalam setahun datang ke tempat itu.

Suryani (46), seorang ibu rumah tangga yang sedang menunggu giliran diperiksa, menuturkan, dirinya sudah menderita ngilu di persendian hampir lima tahun. Gejala itu kadang hilang, kadang timbul lagi.

”Kalau habis mengonsumsi obat, ngilunya hilang. Tetapi, dua bulan atau tiga bulan muncul lagi rasa ngilu dan gatal-gatal,” kata Suryani.

Pindah

Nama Sekonyer diyakini berasal dari nama kapal Belanda, Lonen Konyer, yang tenggelam pada tahun 1892.

Sebelum tahun 1977, warga tidak tinggal di tempat mereka saat ini. Dahulu mereka tinggal di seberang tempat tinggal mereka sekarang yang dilintasi Sungai Kumai.

”Saat itu, dengan kesadaran sendiri, kami pindah karena wilayah desa kami di seberang itu masuk dalam kawasan TNTP. Tetapi, melihat kondisi sekarang menyesal juga pindah ke sini,” kata Suriansyah.

Koordinasi terpadu

Kepala Balai TNTP Helmi mengatakan, untuk menyelesaikan kesenjangan di desa-desa penyangga kawasan TNTP, dibutuhkan kerja sama dan koordinasi semua pihak. Ia sudah beberapa kali bertemu dengan pemerintah kabupaten untuk membahas hal itu.

”Pengunjung terus meningkat, yang harus siap tidak hanya pengelola, tetapi seluruh masyarakat. Pemerintah juga harus siap,” kata Helmi.

Dari data TNTP, tahun 2016, jumlah kunjungan ke TNTP untuk menikmati ekowisata ada 15.091 orang, yakni 7.727 wisatawan mancanegara dan sisanya wisatawan nusantara. Tahun 2017 jumlahnya meningkat menjadi 23.022 orang dengan rincian 14.575 wisatawan mancanegara dan 8.447 wisatawan nusantara.

Bupati Kotawaringin Barat Nurhidayah di sela-sela pertemuan dengan Perwakilan BI Kalteng mengatakan, pendapatan TNTP semua disetor ke pusat sehingga pemasukan ke daerah masih kecil. Namun, meningkatnya jumlah pengunjung di TNTP mulai menggerakkan perekonomian warga.

”Kami berupaya bersama karena wisata juga jadi fokus kami. Ke depan, infrastruktur pedesaan, khususnya daerah penyangga di lokasi wisata, akan diperkuat,” kata Nurhidayah.....................SUMBER, KOMPAS, SELASA 22 MEI 2018, HALAMAN 23

 

Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018