JAKARTA, KOMPAS — Tanda-tanda fisik dan dampak sosial ekonomi perubahan iklim semakin nyata karena rekor konsentrasi gas rumah kaca mendorong suhu global ke tingkat yang berbahaya. Selain memicu peningkatan intensitas dan frekuensi bencana hidrometerologi, iklim ekstrem juga mendorong krisis pangan.
Laporan Lembaga Meteorologi Dunia (World Meteorological Agency/WMO) tentang Keadaan Iklim Global ini diluncurkan menyusul peringatan ulang tahunnya yang ke-25. Laporan ini menyoroti rekor kenaikan permukaan laut.
“Sejak laporan edisi pertama dikeluarkan 25 tahun lalu, ilmu iklim telah mencapai kemajuan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kini ada bukti otentik bahwa kenaikan suhu global telah mempercepat kenaikan permukaan laut, menyusutnya es laut, mundurnya gletser, dan peristiwa ekstrem seperti gelombang panas,” kata Petteri Taalas, dalam siaran pers.
Menurut laporan WMO ini, indikator kunci perubahan iklim kini menjadi lebih jelas. Tingkat karbon dioksida, yang mencapai 357 bagian per juta (part per million/ppm) ketika laporan itu pertama kali diterbitkan pada 1994, terus meningkat hingga 405,5 ppm pada 2017. Pada tahun 2018 dan 2019, konsentrasi gas rumah kaca diperkirakan semakin meningkat.
Pernyataan iklim WMO ini, menurut Taalas, mencakup data dari badan meteorologi dan hidrologi berbagai negara, komunitas ilmuwan, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Laporan ini merinci risiko dan dampak terkait iklim terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia, migrasi dan pemindahan, keamanan pangan, lingkungan dan ekosistem berbasis laut dan darat. Selain itu juga terdapat katalog cuaca ekstrem di seluruh dunia.
Disebutkan, sepanjang tahun 2018, sebagian besar bencana alam yang berdampak terhadap 62 juta orang dikaitkan dengan peristiwa cuaca dan iklim ekstrem. “Cuaca ekstrem terus berlanjut di awal 2019, paling baru munculnya siklon tropis Idai, yang menyebabkan banjir dahsyat dan korban jiwa di Mozambik, Zimbabwe, dan Malawi. Ini mungkin menjadi salah satu bencana terkait cuaca paling mematikan yang menghantam belahan bumi selatan,” kata Taalas.
Awal tahun ini juga terjadi rekor suhu musim dingin harian di Eropa, dingin yang tidak biasa di Amerika Utara, dan gelombang panas di Australia. Luas es Kutub Utara dan Antartika jauh di bawah rata-rata.
Paling terdampak
Selain bencana alam, sektor pertanian juga paling terdampak iklim ekstrem sehingga diperkirakan akan memicu kekurangan pangan global. Pada 2017, jumlah orang yang kekurangan gizi meningkat menjadi 821 juta, sebagian karena kekeringan parah terkait dengan El Nino yang kuat pada 2015-2016.
Laporan ini juga menyebutkan adanya keterkaitan antara iklim dan kualitas udara. Antara tahun 2000 dan 2016, jumlah orang yang terkena gelombang panas telah meningkat sekitar 125 juta orang, karena panjang rata-rata gelombang panas menjadi 0,37 hari lebih lama dibandingkan dengan periode antara 1986 dan 2008. Tren ini meningkatkan lonceng bahaya karena suhu ekstrem diperkirakan akan semakin meningkat dalam intensitas, frekuensi dan durasinya.
Pemanasan global juga berkontribusi terhadap penurunan oksigen di lautan terbuka dan pesisir, termasuk muara dan laut semi-tertutup. Sejak pertengahan abad terakhir, diperkirakan ada penurunan 1-2 persen persediaan oksigen laut global. Dalam dekade terakhir, lautan menyerap sekitar 30 persen emisi CO2 antropogenik menyebabkan laut semakin asam.
Pada saat bersamaan, lebih dari 90 persen gas rumah kaca masuk ke lautan sehingga terjadi tren peningkatan suhu laut. Akibatnya, suhu permukaan laut terus naik dengan laju yang semakin cepat.
Demikian halnya, tinggi muka air laut global (Global Mean Sea Level/GMSL) untuk tahun 2018 sekitar 3,7 milimeter lebih tinggi dari tahun 2017 dan merupakan rekor tertinggi. Selama periode Januari 1993 hingga Desember 2018, tingkat kenaikan rata-rata adalah 3,15 ± 0,3 mm per tahun. Melelehnya massa es di kutub merupakan penyebab utama akselerasi GMSL seperti yang diungkapkan oleh altimetri satelit.
KTT Iklim
Laporan ini juga disampaikan dalam konferensi pers bersama Taalas dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres, Presiden Majelis Umum PBB María Fernanda Espinosa Garcés di markas PBB di New York, menyambut persiapan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Aksi Iklim di tingkat Kepala Negara yang akan diadakan pada September 2019.
Guterres menyebutkan, laporan iklim ini harus mendapat perhatian serius. Ini karena empat tahun terakhir menjadi rekor terpanas, dengan suhu permukaan Bumi rata-rata pada tahun 2018 sekitar 1 derajat C di atas garis dasar pra-industri. “Data ini mengkonfirmasi urgensi aksi iklim. Ini juga ditekankan oleh laporan khusus Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) baru-baru ini tentang dampak pemanasan global 1,5 derajat celsius,” kata dia.
Laporan IPCC telah meyebutkan, untuk membatasi pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius dibutuhkan transisi cepat terkait tanah, energi, industri, bangunan, transportasi dan kota-kota. Emisi global karbon dioksida yang disebabkan manusia harus diturunkan hingga 45 persen pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2010. Berikutnya, emisi harus nol di sekitar tahun 2050.
“Tidak ada lagi waktu untuk menunda,” kata Guterres. Laporan Kondisi Iklim akan menjadi salah satu kontribusi WMO ke KTT.
Sementara itu, Espinosa Garcés mengatakan, “Laporan WMO saat ini akan memberikan kontribusi penting bagi aksi internasional gabungan dalam KTT tentang Iklim untuk memusatkan perhatian pada masalah ini.”.......................SUMBER, KOMPAS, SELASA 2 APRIL 2019, HALAMAN 11
Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018