Aktivitas pengelolaan kayu hutan terlihat masif di Kecamatan Batanghari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, sekitar 225 kilometer dari Palembang. Aktivitas pengangkutan kayu hingga pengolahan sudah berlangsung lama di kawasan ini.
Kasudi (35), warga Desa Sako Suban, Kecamatan Batanghari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin, serius memperbaiki perahunya di pinggir Sungai Batanghari Leko, Sabtu (16/3/2019). Persis di samping perahunya itu, terdapat 78 balok kayu olahan yang mengapung di sungai.
Di atas kumpulan balok tersebut, ada garis polisi. ”Ada tim dari kepolisian yang datang Sabtu pagi dan memasang garis polisi di kayu-kayu tersebut,” ucap Kasudi.
Kayu-kayu tersebut berbagai jenis, seperti meranti, unglen, burian, dan tembesu. Kayu-kayu tersebut dialirkan melalui sungai dari bagian hulu. Setelah tiba di satu titik, balok kayu diangkat dari sungai kemudian dibawa menggunakan mobil bak terbuka.
Manajer Perlindungan dan Pengamanan Hutan Harapan PT Restorasi Ekosistem TP Damanik mengatakan, kemungkinan kayu yang mengalir di Sungai Batanghari Leko berasal dari kawasan Hutan Harapan yang dikelola PT REKI.
Adapun yang melakukan perambahan diperkirakan merupakan masyarakat pendatang dari beberapa daerah. ”Mereka disuruh para mafia dan spekulan untuk mengambil kayu hutan,” katanya.
Dari total 98.555 hektar Hutan Harapan, luas deforestasi di Hutan Harapan sekitar 20.000 hektar, dengan rincian 2.000 hektar di Sumatera Selatan dan 18.000 hektar lain di wilayah Jambi.
Menurut Damanik, kemungkinan kayu tersebut berasal dari kawasan Musi Banyuasin karena untuk masuk ke wilayah Jambi melalui sungai sangatlah sulit lantaran sungai yang terus menyempit.
Namun, hal ini disangkal Kepala Kepolisian Resor Musi Banyuasin Ajun Komisaris Besar Andes Purwanti. Dia menduga kayu tersebut berasal dari Sarolangun, Jambi. Dia mengatakan, penyelidikan asal kayu terus dilakukan.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Meranti Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Wan Kamil mengakui, pihaknya kesulitan mengawasi aktivitas ini karena keterbatasan petugas. Beberapa posko pun tak lagi beroperasi karena kekurangan personel.
Direktur Riset dan Kampanye Hutan Kita Institute (HaKI) Adiosyafri di Palembang menerangkan, hingga saat ini, total kawasan hutan di Sumsel mencapai 3,5 juta hektar. Namun, dari jumlah tersebut, tegakan hutan di Sumsel saat ini diperkirakan hanya tinggal 855.750 hektar. Penurunan ini disebabkan maraknya praktik penebangan liar dan alih fungsi lahan.
Modus yang digunakan para pelaku memang beragam. Biasanya dimulai dengan penebangan kayu-kayu tanaman hutan setelah itu dilakukan pembakaran hutan untuk pembersihan lahan dan pada akhirnya lahan tersebut berubah fungsi menjadi tanaman perkebunan. Itulah sebabnya, kebakaran hutan di kawasan hutan masih sering terjadi.
Kapolda Sumsel Inspektur Jenderal Zulkarnain Adinegara menegaskan tidak akan main-main terhadap perambah hutan. Menurut dia, kejahatan lingkungan ini dapat berdampak pada bencana ekologis yang terjadi seperti banjir. Dia berharap agar masyarakat berperan aktif untuk mencegah kejahatan lingkungan ini.
”Kalau ada bencana di daerah itu, mereka sendiri yang rugi,” katanya. Untuk itu, dia berharap jika melihat adanya penebangan liar segera laporkan ke aparat kepolisian. ”Saya serius, siapa yang terbukti melakukan kejahatan lingkungan akan saya sikat,” katanya.(Rhama Purna Jati)....................SUMBER, KOMPAS, SELASA 19 MARET 2019, HALAMAN 16
Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018