JAKARTA, KOMPAS — Pencemaran logam berat di Teluk Jakarta membuat biota laut yang berasal dari kawasan tersebut tidak aman dikonsumsi karena tingginya kandungan logam berat. Selain mengatasi sumber pencemaran, pemerintah diminta melindungi konsumen dengan mengawasi peredaran biota laut yang mengandung logam berat karena bisa memicu kanker.
Kesimpulan ini disampaikan dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Etty Riani, setelah bertahun-tahun meneliti di perairan tersebut. Kesimpulan tersebut disampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ekobiologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Sabtu (23/2/2019).
Menurut Etty, dari parameter kandungan logam berat merkuri (Hg), daging biota air, baik ikan atau pun kerang-kerangan, di Teluk Jakarta yang dapat ditolerir untuk dikonsumsi orang dewasa dan anak-anak berkisar 0,002 – 0,043 kilogram (kg) per minggu. Bahkan, kerang hijau disarankan tidak dikonsumsi karena konsentrasi logam beratnya paling tinggi.
“Mengkonsumsi daging ikan dan kerang dari Teluk Jakarta dengan jumlah melebihi batasan ini, berpotensi untuk terkena penyakit kanker dan penyakit degeneratif non kanker,” kata Etty.
Tingginya tingkat pencemaran logam berat di Teluk Jakarta karena perairan ini menjadi muara 13 sungai yang tercemar bahan toksik. Penelitian terpisah oleh Guru Besar Departemen Geografi Universitas Indonesia Tarsoen Waryono menemukan, penyumbang logam berat di Teluk Jakarta terutama berasal dari sungai-sungai di sisi sebelah timur, yaitu Sungai Cilincing, Cipinang, dan Cibinong yang menyatu di Kanal Timur. Tiga sungai ini berada di wilayah Bogor, dan sekitarnya ada industri kimia, pakaian, dan sejumlah industri lain.
Selain tiga sungai ini, menurut kajian Tarsoen, pencemar utama juga berasal dari Sungai Mookervart di wilayah Tangerang. Sungai ini berujung ke Sungai Angke. Kawasan industri Pulogadung (Jakarta Timur) juga berkontribusi terhadap pencemaran logam berat.Pengukuran di sungai-sungai di Jakarta dilakukan secara berturut-turut pada 2009, 2010, 2011, dan 2013 dengan kecenderungan tingkat pencemaran logam berat terus naik.
Etty mengatakan, selain kiriman dari sungai-sungai ini, kegiatan di perairan Teluk Jakarta ini juga menyumbang cukup banyak bahan pencemar, salah satunya dari kegiatan pelabuhan. “Kandungan semua bahan pencemar sebenarnya sudah terlewat sejak kami melakukan penelitian tahun 2005,” kata dia.
Terakumulasi
Akumulasi logam berat Hg (merkuri), Cd (kadmium), Pb (timbal), Cr (krom), dan Sn (timah) dalam sedimen dan dalam biota, terutama kerang hijau, menurut Etty, meningkat. Kandungan timbal dalam sedimen misalnya, meningkat dari 63,73 mg/kg pada 2014 menjadi 78,78 mg/kg pada 2015.
Padahal, logam berat dapat masuk ke dalam tubuh ikan melalui permukaan tubuh, sel chlorid pada insang atau melalui proses makan memakan. Logam berat ini kemudian terakumulasi dalam organ tubuh dan bersifat irreversible atau tidak dapat lepas.
Hal tersebut mengakibatkan terjadinya berbagai kerusakan pada organ tubuh ikan seperti insang, ginjal, hati, limpa, otak, jantung, dan sebagainya seperti yang terjadi pada ikan nila, ikan mas, dan biota lain di daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Akumulasi logam berat dan kerusakan organ yang lebih parah terjadi pada ikan barakuda, ikan pepetek (petek), ikan sokang (sukang atau ayam-ayam), ikan beloso, dan kerang hijau di Teluk Jakarta, bahkan pada ikan barakuda terjadi kerusakan hingga pada dagingnya.
Bahan-bahan toksik tersebut juga telah mengakibatkan terjadinya kecacatan pada sironomid di Waduk Saguling dan kerang hijau di Teluk Jakarta. Kandungan bahan toksik tersebut juga mengakibatkan ikan tidak aman lagi dikonsumsi secara bebas.
Untuk ikan dari DAS Citarum masih dapat dikonsumsi dengan jumlah yang bervariasi sesuai dengan jenis logam beratnya, yakni antara 3 ons per minggu hingga tidak dibatasi. “Mengkonsumsi daging ikan yang berasal DAS Citarum resiko munculnya penyakit kanker masih sangat kecil, namun berpotensi memunculkan penyakit degeneratif non kanker,” kata dia.
Belum ada pengawasan
Sekalipun sudah sangat membahayakan, hingga kini belum ada mekanisme pengawasan kandungan logam berat pada ikan di dalam negeri. Padahal, ekspor ikan Indonesia sudah sering ditolak di luar negeri karena kandungan logam beratnya.
Misalnya, data Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan, sepanjang 2017 dari 14 kasus penolakan ekspor ikan dari Indonesia, enam di antaranya karena logam berat. “Seharusnya, perlindungan juga dilakukan konsumen dalam negeri,” kata Etty.
Namun demikian, penapisan logam berat pada biota laut memang tidak mudah. “Prosesnya sampai ketemu hasilnya bisa dua minggu, sementara masyarakat biasa makan ikan segar. Harus dicari mekanismenya,” kata dia......................SUMBER, KOMPAS, SENIN 25 FEBRUARI 2019, HALAMAN 1
Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018