Kontribusi produsen yang produknya menyisakan masalah polusi plastik strategis dalam mengurangi timbulan sampah. Mereka bisa melakukan desain ulang kemasan dengan material ramah lingkungan atau bisa didaur-ulang maupun menarik kembali kemasan plastiknya dari konsumen.
Peta jalan kebijakan tanggung-jawab produsen atau extended producer responsibility ini belum selesai digarap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kewajiban produsen untuk mendesain ulang, menarik kembali, dan mendaur-ulang kemasan tersebut menjadi amanat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
“Tapi belum pernah di-enforce secara serius dan belum menjadi kewajiban yang harus dijalankan,” kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Senin (3/12/2018), di Jakarta.
Praktiknya saat ini, pengumpulan kembali kemasan sebagian besar dilakukan bank sampah dan pemulung. Karena pengumpulan ini bersifat sukarela dan tergantung harga sebagian besar kemasan tersebut masih berceceran di lingkungan maupun tertimbun di tempat pemrosesan akhir (TPA).
Pajak polusi
KLHK pun menunjukkan perusahaan raksasa air minum dalam kemasan baru menyerap kembali kemasan botol/gelas plastik sebanyak 11 persen. Nur Hidayati mengusulkan pemerintah memberlakukan pajak polusi (pollution tax) untuk kemasan yang tidak ditarik kembali. Ini selaras dengan polluter pays principle dalam UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Alasannya, sampah kemasan ini akan membebani keuangan daerah karena terangkut ke TPA maupun mengotori lingkungan. Biaya pengangkutan maupun penimbunan ini menggunakan anggaran pemerintah maupun iuran kebersihan warga.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati pun menekankan agar produsen juga mengubah perilaku. Caranya dengan mengubah desain dan bahan kemasan yang lebih ramah lingkungan maupun membangun sistem penarikan kemasan hingga penyediaan industri daur ulang.
“Saat ini masih kami susun (Peraturan Menteri) peta jalan tersebut bersama asosiasi produsen. Nanti ada tahapan capaian yang harus mereka lakukan,” kata dia.
Belajar dari Denmark, pemikiran dia, peta jalan bisa difokuskan pada jenis sampah botol plastik, kaleng minuman, dan botol kaca. Ketiga sampah ini dinilai relatif mudah dikumpulkan dan didaur-ulang.
Peta jalan itu pun, kata dia, bisa berkaca dari komitmen produsen atau perusahaan-perusahaan saat Konferensi Kelautan (Our Ocean Conference) 29-30 Oktober 2018 di Bali. Beberapa yang tercatat, Danone-Aqua berkomitmen membuat seluruh kemasan plastiknya 100 persen dapat didaur-ulang dan meningkatkan proporsi plastik daur ulang pada botol hingga 50 persen pada 2025. The Coca-cola Company berkomitmen untuk membuat kemasannya 100 persen dapat didaur-ulang pada 2025 dan 50 persen berbahan daur ulang pada seluruh kemasan utama secara global pada 2030.
“Itu yang akan kami tagih. Apa yang dikomitmenkan itu sejalan dengan (rencana) Pemerintah Indonesia yang sedang susun peta jalan,” kata dia.
Komitmen industri
Kepala Divisi Program Keberlanjutan Lingkungan Hidup Yayasan Unilever Indonesia, Maya Tamimi menyampaikan, industri terus berkomitmen dalam pengelolaan sampah. “Dari hulu kami terus berupaya agar kemasan produk bisa kembali dikelola. Komitmen ini kami wujudkan melalui inovasi bentuk dan kemasan yang bisa didaur ulang,” ujarnya usai Rapat Koordinasi Nasional Bank Sampah di Jakarta, Senin.
Ia menyontohkan, desain kemasan dari produk yang dihasilkan industrinya saat ini lebih efisien. Unilever menargetkan pada 2025, semua kemasan plastik yang dihasilkan bisa didaur ulang, digunakan kembali, atau pun bisa dijadikan bahan kompos.
Selain itu, perusahaan multinasional itu pun membangun inovasi CreaSolv@ di Sidoarjo, Jawa Timur. Teknologi yang diklaim pertama di dunia ini bisa mendaur ulang kemasan sachet atau kemasan fleksibel yang selama ini sulit didaur-ulang karena terdiri berlapis jenis plastik.
Selain itu, komitmen pengelolaan kemasan produk juga berkembang di industri lain. Komitmen ini ditunjukkan melalui pembentukan Aliansi untuk Kemasan dan Daur Ulang bagi Indonesia Berkelanjutan (PRAISE). Anggotanya terdiri dari PT Coca-Cola Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Nestle Indonesia, PT Tetra Pack Indonesia, PT Tirta Investama, dan PT Unilever Indonesia Tbk.
Setiap perusahaan yang tergabung dalam aliansi itu memiliki inisiatif menangani sampah, khususnya pada produk yang dihasilkan. Manajer Lingkungan Hidup PT Tetra Pack Indonesia Reza Andreanto menuturkan, pihaknya telah berinisiatif mengelola kemasan yang dihasilkan yang terbuat dari karton, polyethylene, dan aluminium.
Material karton diolah kembali menjadi kertas kartu nama, kotak makanan, dan juga tas berbahan kertas. Kemasan alumunium didaur ulang menjadi biji plastik dan atap gelombang.
Meski begitu, ujar Reza, rantai ekonomi daur ulang untuk keberlanjutan lingkungan ini belum berjalan dengan baik di masyarakat. “Empat hal yang perlu ditingkatkan, yaitu kesadaran konsumen dalam memilah sampah, infrastruktur pengumpulan sampah, kesempatan usaha bagi pengusaha daur ulang, serta potensi pasar untuk daur ulang,” katanya.
Menurut Maya Tamimi dari Yayasan Unilever Indonesia, regulasi yang jelas dari pemerintah diperlukan agar integrasi proses daur ulang sampah dari hulu ke hilir yang berkaitan dengan ekonomi sirkular bisa terwujud. Regulasi ini dinilai bisa efektif menyadarkan masyarakat dalam proses pemilahan sampah.
Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy mengatakan, pihaknya sedang merumuskan kebijakan pengurangan kuantitas sampah plastik. Pemprov Banten sedang merumuskan perda dan memikirkan alternatif pengganti plastik sekali pakai. Perda yang rencananya terbit pertengahan 2019 itu akan diterapkan secara merata sehingga restoran, toko, pabrik hingga pemerintah daerah bisa mengurangi sampah plastik.
Terkait mendorong berkembangnya industri daur-ulang di Indonesia, hingga kini usulan Kementerian Perindustrian untuk memberikan insentif belum mendapatkan tanggapan dari Kementerian Keuangan sejak bulan Juli 2018.
“Kami telah mengusulkan insentif fiskal berupa PPN (pajak pertambahan nilai) ditanggung pemerintah sebesar 5 persen untuk industri daur ulang,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono.
Merujuk data UN Comtrade, Kemenperin mencatat di tahun 2017 nilai devisa ekspor industri plastik daur ulang (dengan nomor terharmonisasi/HS 3915) sebesar 92,2 juta dollar AS. Pada periode sama nilai impor di industri tersebut sekitar 50 juta dollar AS sehingga terjadi surplus perdagangan sekitar 40 juta dollar AS......................SUMBER, KOMPAS, SELASA 4 DESEMBER 2018, HALAMAN 1
Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018