Perpustakaan Emil Salim

Sekertariat Jenderal
Pusat Data dan Informasi
Bidang Pengelolaan Informasi

Perpustakaan

BANDAR AKI BEKAS BERPERAN

BANDAR AKI BEKAS BERPERAN

BANDAR AKI BEKAS BERPERAN

BOGOR, KOMPAS – Peleburan aki bekas ilegal di Kabupaten Bogor Jawa Barat dan Kabupaten Tangerang Banten yang menyebabkan pencemaran timbel, hingga kini masih beroperasi karena memperoleh pasokan aki bekas dari pengepul atau bandar maupun makelar. Bandar ikut menyerap timbel hasil peleburan aki bekas ilegal.

Bandar membuat peleburan aki ilegal dapat berjalan langgeng. Sebaliknya 5 industri peleburan aki bekas legal yang ada di Jawa menjadi tersandera. Akibatnya, pencemaran timbel tak hanya ditemukan di Serpong, tetapi juga di Tegal dan Surabaya.

Peleburan aki bekas ilegal yang dijalankan masyarakat di Kabupaten Bogor dan Tangerang hingga kini masih berjalan karena memperoleh pasokan aki bekas dari pengepul maupun makelar. Bahkan, makelar ikut menyerap timbel hasil peleburan itu sehingga semakin memberikan kepastian usaha bagi pemilik peleburan, sekaligus membuat pencemaran timbel di udara sulit dikendalikan, seperti pencemaran timbel di udara Serpong, Tangerang Selatan.

Para pengepul memperoleh pasokan aki bekas itu dari toko-toko onderdil maupun bengkel yang menjual aki melalui cara tukar tambah dengan aki bekas. Abdi (35), penjual aki di Desa Jagabaya, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang ditemui pertengahan Agustus lalu, mengungkapkan, setiap sebulan sekali ada pengepul yang membeli aki-aki bekas dari tokonya seharga Rp 15.000/kilogram.

Di toko milik Abdi itu ditemukan tumpukan aki bekas, baik aki mobil maupun motor. Lokasi toko itu berada dekat dengan peleburan aki bekas ilegal milik Tiar (29). “Aki bekas itu nanti dijual lagi oleh pengepul ke pelebur aki seharga Rp 16.000 hingga Rp 17.000/kilogram. Pelebur aki itu ada di Parung Panjang, ada juga di Bogor. Biasanya itu (pelebur aki) pakai lapak sampah (area tempat penimbunan sampah),” jelasnya.

YY (47), pekerja peleburan aki ilegal di Desa Jagabaya ini menuturkan, aki bekas memang banyak diperoleh dari pengepul yang menghimpun aki bekas dari toko-toko penjual aki. Ada kalanya aki bekas juga diperoleh dari pengepul sampah dan barang rongsok.

Untuk satu kali melebur aki, YY mengaku bisa melebur 3 ton aki bekas. Dari aki bekas sebanyak itu akan diperoleh 1,5 ton lebih timbel. Setiap kilogram timbel dari hasil peleburan itu dijual seharga Rp 32.000-Rp 33.000 per kg kepada pengepul di Tangerang dengan inisial Abk.

Nama Abk juga disebut oleh Fin (25), pekerja peleburan aki bekas di kawasan Pasar Kamis, Kabupaten Tangerang. Menurutnya, bos tempatnya bekerja hanya menjual timbel hasil peleburan aki bekas itu kepada Abk. “Yah Abk itu yang beli timah hitam (timbel) yang dilebur di sini. Hanya dia,” ucapnya.

Sebagai bandar, Abk diduga menguasai peredaran aki bekas dan hasil peleburannya dari industri peleburan ilegal di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tangerang. Dua wilayah dengan peleburan aki ilegal terbanyak di sekitar Jakarta.Banyaknya peredaran aki bekas di tangan para pengepul dan pelebur aki bekas ilegal, itu tergambarkan pada menurunnya kemampuan produksi pada 3 dari 5 industri peleburan aki legal, yang memperoleh izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ketiga industri itu tergabung dalam Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia (Aplindo) dan sudah ada sejak 1990-an, yakni PT Non Ferindo Utama di Tangerang, PT Muhtomas di Cikarang, dan PT Indra Eramulti Logam Industri (PT Imli) di Pasuruan. Ketiga industri itu memiliki kapasitas produksi 14-120 ton/hari.

PT Muhtomas sudah 5 bulan ini tak dapat menjalankan produksi karena kesulitan memperoleh pasokan aki bekas. Tak terkecuali PT Imli yang sudah beberapa tahun ini juga hanya dapat menjalankan produksi sebesar 36.000 ton atau 41,37 persen dari kapasitas produksinya 87.000 ton. Sementara PT NFU pun hanya dapat menjalankan produksi 70 persen dari kapasitas produksinya 96.000 ton.

Sementara 2 industri lagi baru beroperasi beberapa tahun belakangan dan tak tergabung dalam Aplindo, yaitu PT Karabha Wiratama di Tegal, dan PT Hidup Makmur Steel di Lamongan. Karena tak tergabung dalam Aplindo, aktivitas kedua industri itu pun tak diketahui persis. Hanya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, itu diketahui keduanya memiliki kapasitas produksi 2-7 ton/hari.

Peran makelar menguasai suplai aki bekas ini juga dikeluhkan PT IMLI yang mengoperasikan peleburan aki bekas di Pasuruan. Sudah beberapa tahun ini industri peleburan itu hanya dapat menjalankan produksi 41,37 persen dari kapasitas produksi. “Makelar dan peleburan aki bekas itu jelas mengganggu kami,” Direktur PT IMLI, HM Chanafi, saat ditemui di Jakarta.

Saking sulitnya memperoleh aki bekas, Direktur PT NFU Alfred Sihombing mengaku, pihaknya sampai pernah meminta bantuan Abk untuk memperoleh pasokan aki bekas. Selain dikenal sebagai pengepul timah hitam dari peleburan aki bekas, menurut Alfred, Abk juga menguasai suplai aki bekas di Tangerang.

Menurut Alfred, Abok dikenal kerap memberikan bantuan dana kepada pelebur aki ilegal untuk membiayai peleburan aki bekas. Kemudian timah hitam yang dihasilkan dari peleburan itu dijual kembali oleh pelebur kepada Abok.

“Dia (Abk) ini bandar. Dia mendanai dulu peleburan aki bekas itu. Setelah jadi timah, itu dijualnya ke dia (Abk) lagi,” ujar Alfred.

Saking berkuasanya makelar seperti Abk dalam peredaran aki bekas, Alfred pun mengungkapkan, harga aki bekas menjadi sangat ditentukan oleh makelar. Biasanya, makelar itu akan memperhatikan fluktuasi harga timbel dunia di London Metal Exchange, dan nilai dolar Amerika terhadap Rupiah. Jika terjadi kenaikan harga timbel dunia atau dolar Amerika menguat, harga aki bekas pun akan dinaikan.

“Bayangkan, harga aki bekas itu naik terus karena makelar mengendalikan harganya. Dulu, harga aki bekas Rp 12.000/kg (hingga tahun 2012), sekarang menjadi Rp 17.000/kg. Sementara jika kami meminta harga lebih murah, aki bekas itu akan dijual pengepul maupun makelar itu ke peleburan ilegal. Sudah mengikuti harga makelar pun kami masih kesulitan aki bekas,” jelasnya.

Sementara harga jual timbel yang dihasilkan dari peleburan legal jauh lebih mahal dibandingkan dari peleburan ilegal. Padahal untuk menghasilkan 1 kg timbel, itu membutuhkan 2 kg timbel dari aki bekas. Setiap kilogram timbel yang diproduksi PT NFU, contohnya, itu dijual Rp 35.000, sementara timbel dari peleburan ilegal dijual seharga Rp 33.000 sampai Rp 34.000/kg.

Dengan margin Rp 1.000/kg dikalikan total produksi setiap tahun, menurut Alfred, itu dapat digunakan untuk mendanai pengoperasian penangkap debu timbel, hingga gaji karyawan, biaya mengolah limbah dari peleburan aki bekas,termasuk tanggung jawab sosial terhadap masyarakat di sekitar pabrik. Sebaliknya, peleburan ilegal tak menanggung biaya itu karena peleburan dijalankan secara tradisional.

“Margin yang kami peroleh itu cukup untuk menjalankan daur ulang aki bekas yang ramah lingkungan. Namun ada kalanya kami juga merugi, misalnya karena pasokan aki terlambat. Sementara beban biaya itu kan tak ditanggung oleh peleburan ilegal,” jelas Alfred.

Namun karena rantai distribusi aki bekas tak dikelola secara tertutup, pengepul maupun agen yang memasok aki bekas ke PT NFU juga tak memperhatikan kesehatan lingkungan. Indra Battery, salah satu agen pemasok aki bekas ke PT NFU, itu contohnya, itu tak hanya menyimpan aki bekas, tetapi juga mengosongkan seluruh aki bekas dari cairan asam sulfat (H2SO4) yang ada di dalamnya.

Cairan asam sulfat itu langsung dibuang begitu saja ke selokan di depan warung kecil tempat Indra Battery menjalankan usahanya di pinggir Jalan Pahlawan Revolusi, Pondok Bambu, Jakarta Timur. “Itu aki bekasnya akan dikirim ke PT NFU,” ucap Asep, kordinator pekerja di agen aki bekas itu.

Diakui Alfred, Indra Battery itu salah satu agen pemasok aki bekas ke PT NFU. Agen itu, dia akui, belum mengantongi izin dan masih dalam pembinaan PT NFU. “Jadi begini, kami diminta oleh Kementerian LHK untuk membina agen-agen aki bekas ini agar menjalankan usahanya dengan ramah lingkungan dan berizin. Cuma masalahnya, agen-agen ini kan juga bebas memasok aki bekas ke pelebur ilegal, sehingga mereka tak peduli dengan lingkungan,” jelasnya.

Adanya peran makelar yang mengendalikan suplai aki bekas, itu membuat peleburan ilegal tak hanya ditemukan di Kabupaten Bogor dan Tangerang. Di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, peleburan aki bekas ilegal pun terindikasi dioperasikan di Desa Pesarean.

Hingga 2016, saat organisasi lingkungan Pure Earth atau Blacksmith melakukan penelitian dampak pencemaran timbel dari peleburan aki ilegal di desa itu, ditemukan masih ada perajin peleburan aki bekas yang menjalankan usahanya. Padahal selama 2010-2014 para perajin logam di desa itu telah direlokasi pemerintah setempat ke Perkampungan Industri Kecil Kebasen yang berada sekitar 1,3 kilometer dari Desa Pesarean.

Direktur Pure Earth, Budi Susilorini, saat ditemui di Jakarta, mengungkapkan, meskipun pada 2016 itu timnya sebatas melakukan penelitian mengukur kadar timbel di lingkungan Desa Pesarean, tetapi ditemukan masih ada pelebur aki bekas ilegal di desa tersebut. Bahkan perajin peleburan itu, menurutnya, memperoleh pasokan aki bekas secara rutin dari pihak tertentu, salah satunya diduga dari industri peleburan aki bekas yang legal.

“Yang kami ketahui setiap minggu mereka (pelebur aki bekas ilegal) memperoleh pasokan aki bekas,” kata Budi.

Hasil penelitian Pure Earth pun menemukan bahwa sampel tanah yang diambil dari sejumlah lokasi di Desa Pesarean itu terkontaminasi debu timbel sebesar 300 miligram/kg, memasuki ambang batas Total Konsentrasi C (TK-C) timbel pada tanah. Sementara, sampel darah yang diambil dari 46 orang warga setempat diketahui mengandung timbel sebesar 13-23 mikrogram/desiliter, melebihi batas toleransi timbel dalam darah 10 mikrogram/dL.

Sementara berdasarkan hasil penelitian dan pemantauan Kementerian LHK bersama Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), pencemaran debu timbel PM 2,5 (debu berukuran 2,5 mikrometer) akibat peleburan aki bekas di Kabupaten Bogor dan Tangerang, itu telah mencemari udara Serpong, Tangerang Selatan.

Bahkan tak hanya Serpong, Batan dan Kementerian LHK juga menemukan debu timbel dari peleburan aki bekas juga mencemari udara ambien beberapa kabupaten yang berbatasan dengan Kota Surabaya, Jawa Timur. Bahkan sejak 2012, pencemaran debu timbel telah teridentifikasi di pinggiran Surabaya.

Hasil pemantauan Batan selama 7 tahun terakhir, menunjukkan bahwa konsentrasi timbel berukuran PM 2,5 di udara ambien pinggiran Surabaya dalam rata-rata harian, 24 jam, itu cukup tinggi.

Salah satunya, pada 2015, pernah terpantau mencapai 2,6 mikrogram/meterkubik. Sementara konsentrasi debu timbel di udara Serpong, pada tahun yang sama, itu lebih rendah, 2,04 mikrogram/meterkubik.

Kadar timbel di udara pinggiran Surabaya maupun Serpong pada tahun itu telah melampaui baku mutu rata-rata 24 jam, 2 mikrogram/meterkubik.

Ketua Umum Aplindo Achmad Safiun mengungkapkan, praktik peleburan aki bekas ilegal itu sudah ada sejak lebih dari 40 tahun lalu, sekitar 1978. Hingga kini, peleburan aki bekas ilegal masih marak karena minimnya pengawasan dari pemerintah baik daerah maupun pusat.

Ia menilai, Kementerian LHK seharusnya menegakkan betul Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). “Aki bekas itu termasuk dalam limbah Bahan Berbahaya dan Beracun atau B3. Menyimpan, mengelola, dan mengolah limbah B3 ini perlu izin khusus dari pemerintah. Perusahaan-perusahaan yang resmi ini urus izin setengah mati, masa yang illegal ini dibiarkan saja?” ujar Safiun.

Apalagi, lanjut Safiun, pihak-pihak yang terlibat dalam mengendalikan distribusi aki bekas itu jelas-jelas sudah sangat mengganggu pasokan aki bekas untuk industri peleburan aki bekas yang legal. PT Muhtomas, contohnya, itu sudah 5 bulan tidak produksi karena kesulitan bahan baku aki bekas. “Akibat adanya makelar, aki bekas ini banyak diambil oleh peleburan aki bekas ilegal itu,” jelas Safiun.

Agustono Santoso, Automotive Battery Department Head PT Santi Yoga, selaku distributor salah satu merek aki nasional, tak menampik bahwa hingga 2 tahun lalu, merek aki yang mereka distribusikan masih menyerap timbel dari peleburan aki ilegal. Namun karena aki produksi perusahaan yang berinduk di Jepang itu diaudit secara ketat oleh pemerintah, sudah 2 tahun terakhir mereka hanya menyerap timbel dari industri peleburan aki bekas yang resmi.

“Dulu, kami terus terang ada 2 sumber (timbel) untuk produksi, ada yang dari tradisional (peleburan aki bekas ilegal) dan industri (peleburan legal). Namun sekarang, (kami) ke yang resmi semua karena kami diaudit,” jelasnya.

Kepala Sub Direktorat Pengumpulan dan Pemanfaatan Limbah Bahan Beracun Berbahaya KLHK Amsor mengakui, saat ini sulit untuk menghalau agar distribusi aki bekas tak lari ke peleburan ilegal. “Sering kali kami sudah lakukan penegakan hukum tetapi jumlahnya (peleburan aki ilegal) banyak. Hal ini sudah kami bahas, dan selanjutnya perlu ada upaya untuk menata kembali distribusi aki bekas ini,” jelasnya.

Direktur Jenderal Pengolahan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian LHK, Rosa Vivien Ratnawati pun mengakui, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Limbah B3 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Limbah B3, itu belum cukup untuk mengatur persoalan limbah aki bekas. Untuk itu, pihaknya sedang menyusun peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pemanfaatan aki dan baterai bekas.

“Nantinya (di peraturan ini) ada tentang siapa yang menghasilkan (limbah) maka dia harus mengelola, bagaimana menyimpan dan mengelola limbah B3, penanganan keadaan darurat, serta data penimbunan limbah B3,” ucap Vivien.

Bahkan sejak 2004, KPBB telah melihat bahwa pencemaran timbel di udara itu sangat erat kaitannya dengan makelar maupun pengepul aki bekas. Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin menyampaikan, untuk mengendalikan pencemaran timbel di lingkungan, hal pertama yang harus dilakukan adalah memutus mata rantai distribusi aki bekas dari peran makelar maupun pengepul.

“Sejak 2014, kami sudah sampaikan (ke pemerintah), bahwa pabrik aki itu jual aki ke toko, kemudian dibeli user (pembeli). Aki bekas yang diserahkan pembeli ke toko sebagai tukar tambah untuk pembelian aki baru, itu dikuasai broker (makelar). Ironisnya, pemerintah tak mengontrol itu,” jelasnya.

Sebagai jalan keluarnya, menurut Safrudin, aki bekas itu semestinya dihimpun lagi oleh produsen aki sehingga peredaran aki bekas itu dapat dikontrol. Bukan sebaliknya, aki bekas itu malah dapat dihimpun oleh pihak mana pun. “Apalagi belakangan kami menemukan peleburan ilegal juga ditemukan di Medan, Lamongan, dan Sidoarjo,” jelasnya. (INGKI RINALDI/BENEKDIKTUS KRISNA YOGATAMA/RYAN RINALDY)........................SUMBER, KOMPAS, SELASA 16 OKTOBER 2018, HALAMAN 1

Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018