Perpustakaan Emil Salim

Sekertariat Jenderal
Pusat Data dan Informasi
Bidang Pengelolaan Informasi

Perpustakaan

HUKUM LINGKUNGAN : PERATURAN PEMERINTAH LEBIH DIPERLUKAN

HUKUM LINGKUNGAN : PERATURAN PEMERINTAH LEBIH DIPERLUKAN

HUKUM LINGKUNGAN : PERATURAN PEMERINTAH LEBIH DIPERLUKAN

Meski diapresiasi sejumlah pihak, langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyusun rancangan peraturan menteri bagi perlindungan pembela lingkungan tidak akan berdampak. Kriminalisasi pembela lingkungan saat ini sebagian besar dilakukan aparat kepolisian di daerah yang tidak bisa diatur secara langsung menggunakan peraturan menteri tersebut.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) disarankan bersama kementerian lain merumuskan peraturan pemerintah terkait hal itu. Peraturan pemerintah bisa menjadi rujukan bagi polisi dan jaksa agar tidak membawa pembela lingkungan ke ranah hukum.

Perlindungan bagi pembela lingkungan dimunculkan dalam Pasal 65 dan 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 65 menyebutkan, setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Pasal 66 menyebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak lingkungan hidup yang baik dan sehat yang didasarkan pada itikad baik tidak bisa dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata. Kasus-kasus pembungkaman dalam kepustakaan hukum lingkungan dikenal dengan nama Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).

”Kalau mau bikin peraturan menteri LHK anti-SLAPP itu mau atur soal apa. Aturan KLHK tak bisa mengikat kementerian/lembaga lain,” kata Muhnur Satyahaprabu, praktisi hukum dan aktivis lingkungan hidup, Sabtu (13/10/2018), di Jakarta.

Peraturan menteri LHK hanya memungkinkan diikuti penyidik pegawai negeri sipil KLHK. Itu pun dinilai sia-sia karena tak pernah ada kejadian ataupun preseden bahwa penyidik pegawai negeri sipil KLHK memeriksa pejuang lingkungan.

Butuh definisi

Karena itu, ia menyebut Pasal 65 dan Pasal 66 UU No 32/2009 jelas secara normatif, tetapi secara implikatif masih ditafsirkan sendiri-sendiri oleh penegak hukum. Dalam konteks hukum, kata Muhnur, dibutuhkan definisi atau pengertian dari perlindungan lingkungan hingga orang yang berjuang bagi perlindungan lingkungan ataupun pejuang hak asasi manusia tersebut.

Belum ada otoritas yang bisa mengakui seseorang pejuang hak asasi manusia ataupun pejuang lingkungan. Jika ada, otoritas itu akan memiliki kewenangan langkah hukum seperti meminta pengadilan atau polisi menghentikan kasus dan meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi.

Hal itu tidak bisa dilakukan KLHK karena tidak diperintahkan dalam UU maupun Perpres Kelembagaan KLHK. Karena itu, Muhnur menyarankan agar perlindungan bagi pembela lingkungan dan HAM itu diturunkan dalam peraturan pemerintah.

Namun, lebih kuat apabila itu masuk ke dalam perubahan UU No 32/2009. Meski tak bisa menyentuh ranah pengadilan atau Mahkamah Agung, peraturan pemerintah setidaknya bisa mengikat dan menjadi acuan bagi polisi dan jaksa.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan, rancangan peraturan menteri LHK anti-SLAPP sedang dibahas secara intensif.

Terkait peraturan menteri LHK tidak akan aplikatif untuk mengikat kepolisian dan kejaksaan, ”Kami akan bicara dengan penegak hukum lain agar tindakan perlindungan terhadap saksi dan ahli bisa dilaksanakan sehingga penegakan hukum lebih efektif. Lembaga lain tersebut adalah kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung, LPSK, dan Komisi Yudisial,” ujarnya.

Menurut Rasio, perlindungan bagi saksi dan ahli lingkungan hidup jadi prioritas KLHK karena sangat membantu dalam proses penegakan hukum. Pejuang lingkungan merupakan informan bagi jajarannya untuk menindaklanjuti suatu kasus.

Pembahasan isu Anti-SLAPP ini muncul kembali setelah peristiwa pelaporan gugatan atas Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo oleh PT Jatim Jaya Perkasa, di Pengadilan Negeri Cibinong. Saksi ahli andalan KLHK terkait kebakaran hutan dan lahan ini “melawan” perusahaan sawit dalam persidangan pidana perseorangan, pidana korporasi, dan perdata.

Sebelumnya, perusahaan ini juga menggugat Basuki Wasis, pakar valuasi kerugian lingkungan IPB di PN Cibinong. Gugatan ini berakhir dengan mediasi.

Basuki Wasis saat ini juga sedang menghadapi gugatan Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam dengan tuduhan kesaksian palsu terkait pertambangan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta kesaksian Basuki Wasis dalam kasus dugaan korupsi Nur Alam, mengajukan diri sebagai tergugat intervensi...............SUMBER, KOMPAS, SENIN 15 OKTOBER 2018, HALAMAN 14

Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018