Pencemaran dari peleburan aki bekas di Kabupaten Bogor Jawa Barat dan Tangerang Banten, tak pernah serius dikendalikan. Debu timbal dari peleburan terus mencemari udara dan tanah kawasan di sekitar peleburan seperti permukiman padat penduduk di Serpong, Kota Tangerang Selatan. Hal paling mengkhawatirkan, debu timbel telah mengontaminasi darah anak-anak di kawasan tercemar.
Pertengahan Agustus lalu, Kompas kembali menelisik kadar timbel dalam tanah di permukiman sekitar peleburan aki bekas. Ditemukan konsentrasi timbel atau timah hitam, plumbum (PB), yang tinggi di 5 lokasi sekitar peleburan aki di Kabupaten Bogor dan Tangerang yang sudah berjalan sejak 1978 hingga 2000-an. Peleburan itu baik yang ilegal dikelola masyarakat, maupun peleburan aki bekas yang memperoleh izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Di Kabupaten Bogor, peleburan aki bekas ilegal ditemukan di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, dan Desa Jagabaya, Kecamatan Parung Panjang. Sementara di Kabupaten Tangerang, ditemukan 2 peleburan ilegal di Pasar Kemis yang belum lama ini ditinggalkan oleh perajinnya, dan 1 peleburan berizin PT Non Ferindo Utama.
Peleburan aki bekas ilegal dijalankan dengan menggunakan tungku berbentuk menyerupai mulut sumur, tanpa dilengkapi cerobong dan penangkap debu. Peleburan hanya berjalan malam hari untuk menghindari protes warga setempat karena asap yang ditimbulkan dari peleburan itu berwarna hitam pekat. Karena tak dilengkapi penangkap debu, debu timbal akibat pembakaran itu pun mencemari udara dan mengancam kesehatan masyarakat di sekitarnya.
Khusus peleburan di Desa Cinangka, tak lagi menggunakan aki bekas sebagai bahan baku peleburan. Sebaliknya pelebur di desa itu menggunakan slag, limbah dari peleburan aki bekas. Material slag ditemukan lumayan banyak di desa itu, karena peleburan aki di desa itu telah berjalan sejak 1978, paling lama dibandingkan tempat lainnya.
Tak heran, kandungan timbel tertinggi pun ditemukan pada sampel tanah dari Desa Cinangka, sebesar 3.883 miligram/kilogram. Mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), kandungan timbel pada tanah di desa itu 2 kali lipat dari nilai baku mutu karakteristik beracun Total Konsentrasi B (TK-B), 1.500 mg/kg.
Sampel tanah dari sekitar area peleburan aki di Desa Kadu, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, itu juga menunjukkan konsentrasi debu timbel yang tak kalah tinggi, sebesar 1.113 mg/kg. Tingginya konsentrasi itu melampaui baku mutu karakteristik beracun TK-C sebesar 300 mg/kg, dan sudah mendekati TK-B. Kendati, sebagai pelebur legal, peleburan itu dilengkapi penangkap debu.
Sementara sampel tanah dari Desa Parung Panjang, kandungan timbelnya sebesar 585 mg/kg, melampaui baku mutu karakteristik beracun TK-C sebesar 300 mg/kg. Dua sampel tanah lainnya dari peleburan di Pasar Kemis yang belum lama ini ditinggalkan perajinnya, masing-masing menunjukkan kadar timbel sebesar 540 mg/kg, dan 126 mg/kg.
Tingginya kadar timbel itu diperoleh dari hasil pengujian sampel tanah dari sekitar peleburan yang diambil Kompas. Pengujian dilakukan di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dengan menggunakan teknologi nuklir terapan. Sampel tanah diambil dalam radius 500 meter dari setiap lokasi peleburan. Tanah itu diambil dengan cara sederhana, menyerok tanah di permukaan dan menampungnya di dalam plastik.
Menurut ahli tanah Institut Pertanian Bogor, Suwarno, kadar timbel dalam tanah yang telah melampaui baku mutu karakteristik beracun TK-B, seperti ditemukan di Desa Cinangka, itu perlu dilakukan pengangkatan tanah yang tercemar timbel.
“Tanah yang tercemar itu harus diangkat karena itu berbahaya. Timbel di tanah itu bisa diserap tanaman, dan luruh masuk ke air tanah. Jika air yang tercemar itu diminum, maka manusia yang mengonsumsi air itu akan mengalami pemekatan PB di dalam tubuh, dan dampaknya bisa mengganggu kesehatan, salah satunya mengganggu fungsi otak,” jelas Suwarno, yang pernah terlibat dalam penanganan pencemaran timbal di Desa Cinangka pada 2014 silam.
Kontaminasi Darah
Hal yang paling mengkhawatirkan, kadar timbel yang tinggi juga ditemukan dalam darah pada anak-anak di Desa Cinangka. Dengan menggunakan tenaga medis salah satu perusahaan laboratorium, dan didampingi Direktur Eksekutif Komite Pembebasan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin, Kompas mengambil sampel darah dari anak-anak di desa itu, terutama anak yang terindikasi keracunan timbel. Salah satu gejala keracunan timbel adalah kejang-kejang, dan anak itu memiliki ciri seperti anak dengan keterbelakangan mental.
Sebanyak 3 anak yang diambil sampel darahnya, terbukti kadar timbel di darahnya sangat tinggi, 13-25 mikrogram/desiliter. Merujuk pada Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) yang dijadikan acuan penelitian kesehatan di dalam negeri, kadar timbel di dalam darah saat ini harus kurang dari 5 mikrogram/desiliter. Sebelumnya, hingga 2012, lembaga itu menetapkan kurang dari 10 mikrogram/desiliter.
AN (12), anak laki-laki yang menginjak remaja ini dalam seminggu bisa 3 kali mengalami kejang-kejang. Di dalamnya darahnya ditemukan kadar timbal sebesar 23,3 mikrogram/desiliter, hampir 500 persen dari baku mutu. Sehari-hari AN berperilaku seperti anak dengan keterbelakangan mental, sulit berkomunikasi, dan hanya peduli terhadap barang-barang yang disukai.
Adiknya, ASF (11), dengan ciri wajah menyerupai anak down syndrome, ditemukan konsentrasi timbel di dalam darahnya lebih tinggi lagi, 25,3 mikrogram/desiliter. Hingga kini, ASF tak bisa membaca dan menulis.
Seorang anak laki-laki RD (12) juga ditemukan kadar timbel di dalam darahnya sebesar 13,8 mikrogram/desiliter. Hingga kini RD tak bisa berjalan. Dia hanya bisa mendorong tubuhnya dengan lutut dan tangan, menyerupai balita yang belajar jalan dengan merayap.
Iswandi (46), orangtua AN dan ASF mengungkapkan, yang mengkhawatirkan AN bisa kejang-kejang 3 kali dalam seminggu. “Kalau sedang kejang-kejang, tubuhnya biru-biru, dan bisa berlangsung sampai 6 jam,” ucapnya.
Di kalangan peneliti di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Batan, Universitas Indonesia, maupun Institut Teknologi Bandung, beserta organisasi lingkungan seperti KPBB, pencemaran timbal akibat peleburan aki bekas itu bukan hal baru. Sejak 2011, mereka telah menemukan timbel dari peleburan aki itu telah mencemari udara, tanah, dan juga darah anak-anak di sekitar lokasi peleburan.
Budi Haryanto, peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat UI yang terlibat aktif meneliti kontaminasi timbel dalam darah pada anak-anak di sekitar lokasi peleburan itu mengungkapkan, bahwa pengujian sampel tanah maupun darah yang dilakukan Kompas itu kembali mengkonfirmasi bahwa pencemaran timbal dari peleburan aki bekas itu masih terus terjadi.
Bahkan, menurutnya, dengan ditemukannya kadar timbel yang tinggi dalam darah pada anak-anak di Desa Cinangka itu menunjukkan bahwa pencemaran timbal di lingkungan desa itu masih berlangsung. Berdasarkan pengamatan Kompas, sebagian warga di desa itu masih menjalankan peleburan slag timbal.
“Ketika ada (kadar timbel) di darah dan urin, itu menunjukkan 2 minggu terakhir itu masih terjadi pencemaran (timbel). Sampel darah itu mendeteksi pencemaran yang baru saja terjadi. Apalagi kadar timbal pada 3 anak ini tinggi, melampaui batasan yang ditetapkan CDC dan WHO,” jelasnya.
Budi mengungkapkan, berdasarkan beberapa penilitian pencemaran timbel dari peleburan aki bekas, itu diketahui bahwa timbal yang terpajan di udara lebih mudah mengkontaminasi darah manusia. Sebab, setiap 3 detik manusia bernapas dan menghirup udara. Jika udaranya tercemar debu timbel, maka debu itu akan ikut masuk ke dalam tubuh manusia.
Debu timbal PM 10 (debu timbel berukuran 10 mikrometer) akan sampai di saluran pernapasan atas, sampai di tenggorokan. Sementara debu timbal PM 2,5 itu tak tersaring dihidung, dapat lolos masuk ke dalam tubuh seperti halnya gas, masuk ke jaringan paru-paru, darah, hingga sumsum tulang belakang.
Konsentrasi timbel yang terdeposit di dalam tubuh, lanjut Budi, itu tidak dapat dihilangkan. Sebaliknya, timbal itu akan mengganggu fungsi sistem saraf pusat, regenerasi sel dan darah di sumsum tulang belakang. Dampaknya, bisa menimbulkan kejang-kejang hingga penurunan intelejensia.
Budi mengungkapkan, saat dia meneliti pencemaran timbel di sekitar di Desa Kadu, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, pada 2011, ditemukan tingginya kadar timbal dalam darah pada 60 siswa yang bersekolah di sekitar pabrik itu. Rata-rata kadar timbel pada 60 siswa itu sebesar 39,18 mikrogram/desiliter. Lewat serangkaian pengujian, siswa dengan kadar timbal tinggi itu terbukti rendah kemampuannya dalam membaca dan menghitung.
“Saat saya kembali diminta Kementerian LHK memeriksa kadar timbel siswa di sana pada 2016, itu kembali ditemukan kadar yang lebih tinggi lagi, terbukti memengaruhi penurunan intelejensia. Menakutkan hasilnya. Dua kali diperiksa, kadarnya tinggi,” jelasnya.
Sampel tanah yang diambil Kompas dari lingkungan sekitar di Desa Kadu itu pun terbukti memiliki konsentrasi debu timbel lumayan tinggi, 1.113 mg/kg. Hilman (65), salah satu ketua RT setempat mengungkapkan, warga di sekitar industri itu pernah diambil sampel darahnya dan diketahui konsentrasi timbal di darahnya mencapai 65 mikrogram/dL.
“Saya pernah menentang pengoperasian peleburan aki, tetapi memperoleh tentangan dari warga,” ucap Hilman.
Banyak warga setempat yang terserap sebagai pekerja di PT NFU, baik sebagai karyawan tetap maupun sebagai buruh harian yang bertugas memilah plastik kotak aki. Selain itu, setiap tiga bulan sekali PT NFU menyediakan pengobatan gratis bagi warga.
“PT (NFU) di sini bagus kok. Mereka rutin menyediakan pengobatan gratis untuk kami,” ucap Muhati (50), warga setempat.
Di Parung Panjang, peleburan aki bekas cukup aktif dijalankan oleh Tr (29) di Desa Jagabaya. Dalam semalam, menurut salah seorang pekerjanya, peleburan itu dapat melebur 3 ton aki bekas, dan menghasilkan 1,5 ton ingot timbel. Sampel tanah di sekitar peleburan itu pun menunjukkan kadar timbel, 585 mg/kg.
Sementara peleburan aki bekas ilegal di Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang, cenderung kucing-kucingan dengan aparat setempat. Salah satunya peleburan aki bekas yang menempati lahan kosong di belakang pabrik PT Surya Toto Indonesia, milik AO. Baru sebulan ini peleburan itu dipindah ke tempat lain karea dilarang beroperasi. Dari sampel tanah yang diambil di tempat itu menunjukkan konsentrasi timbel, 126 mg/kg. Kadar itu tergolong tinggi karena batas normal konsentrasi timbel di tanah, itu harus kurang dari 55 mg/kg.
Peleburan aki bekas di lokasi kedua di Pasar Kemis, sudah setahun ini ditinggalkan perajinnya karena lahan yang digunakan untuk peleburan telah dibeli perusahaan perumahaan. Dari sampel tanah yang diambil di lokasi itu menunjukkan konsentrasi timbel sebesar 540 mg/kg.
Mencemari Serpong
Sejak 2011, pencemaran timbel dari peleburan aki bekas itu pun sudah ditemukan mencemari udara ambien Serpong, dan masih berlangsung hingga saat ini. Dari hasil pemantauan Batan, selama 2010-2017, ditemukan konsentrasi debu timbal PM 2,5 (debu berukuran 2,5 mikrometer bersifat polutif) untuk rata-rata harian, 24 jam, di udara ambien Serpong, itu beberapa kali mencapai titik maksimum 2 hingga 2,5 mikrogram/meter kubik. Padahal baku mutu debu timbel di udara untuk semua ukuran, menurut PP Nomor 41/1999 tentang pengendalian pencemaran udara, itu harus kurang dari 2 mikrogram/meter kubik.
Temuan pencemaran timbal di Serpong itu merupakan hasil penelitian Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (sekarang Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian LHK) bersama Batan, Institute of Geological and Nuclear Sciences New Zealand, dan Center for Air Resources Engineering and Sciences Clarkson University. Penelitian itu menggunakan teknologi nuklir terapan, dan didukung metode analisis untuk menemukan faktor utama penyebab pencemaran, yakni Positive Matrix Factorization milik Agensi Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika (US EPA).
Muhayatun, peneliti senior Batan, mengungkapkan, penelitian pada 2011 itu merupakan yang ke sekian kalinya dari serangkaian penelitian pencemaran timbal di Serpong yang dilaksanakan Kementerian LHK bersama Batan sejak 2001. Dari serangkaian penelitian itulah baru ditemukan bahwa sumber debu timbel di Serpong itu berasal dari lokasi peleburan aki bekas baik ilegal maupun legal yang ada di Pasar Kemis dan Curug.
Sumber pencemaran itu ditemukan dengan memperhitungkan arah dan kecepatan angin yang dilaksanakan pada 2010. Dari penelitian itu ditemukan debu timbal di udara Serpong itu datang terbawa angin yang bergerak dari arah utara-barat, kawasan Pasar Kemis dan Curug.
Persebaran debu timbal itu juga telah dipetakan. Dengan mengambil lokasi peleburan aki di Desa Kadu dan pabrik aki di Pasar Kemis itu sebagai titik pusat, kemudian ditarik radius hingga 30 kilometer lebih di 4 penjuru arah angin. Di keempat penjuru itu, diambil sampel udara di 16 lokasi, seperti Serpong, Bintaro, Cirendeu, hingga Ancol. Setiap titik lokasi diambil 200 sampel debu di udara, dan hasilnya menunjukkan konsentrasi timbel di udara Serpong tetap paling tinggi.
“Debu timbel yang sampai rilis di udara itu pasti melalui proses combustion atau peleburan, pembakaran. Kalau semakin kita dekat dengan sumber, maka akan diperoleh konsentrasi yang lebih besar dibandingkan yang jauh dari sumber,” jelas Muhayatun.
Dari segi rata-rata per tahun, konsentrasi debu timbel PM 2,5 di udara Serpong itu masih di bawah baku mutu yang ditetapkan pemerintah, 1 mikrogram/meter kubik. Hal itu dikarenakan Batan dan Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian LHK tak memantau persebaran debu timbal PM 10, melainkan terbatas debu timbal PM 2,5 karena sifatnya polutif.
“Kami hanya memantau debu timbal PM 2,5, itu karena debu PM 2,5 itu sifatnya polutif, dan langsung memengaruhi kesehatan manusia. Bahkan dari salah satu penelitian di Amerika itu menunjukkan korelasi yang positif, bahwa semakin tinggi konsentrasi debu PM 2,5 maka kematian manusia juga ikut meningkat,” jelas Muhayatun.
Saat dikonfirmasi, Direktur PT Non Ferindo Utama Alfred Sihombing menyampaikan, bahwa PT NFU baru rutin memulai peleburan aki bekas menjadi timbel itu pada 2004, setelah pemerintah menghentikan impor aki bekas. Sebelumnya PT NFU tak melaksanakan daur ulang, melainkan memproduksi komponen aki yang juga menggunakan timbal.
“Kalau ditemukan ada timbel (konsentrasi timbal yang tinggi di lingkungan sekitar PT NFU), itu karena sebelumnya di lingkungan pabrik kami ada banyak pelebur aki ilegal. Sementara kami baru memulai daur ulang aki itu pada 2004, dan kami melaksanakan daur ulang dengan cara ramah lingkungan dan diawasi Kementerian LHK,” jelasnya.
Kepala Bidang Kerjasama dan Diseminasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Inovasi Kementerian LHK, Esrom Hamonangan, yang selama ini terlibat dalam penelitian pencemaran timbal di Kabupaten Tangerang dan Bogor itu mengungkapkan, konsentrasi timbal yang tinggi memang tak hanya ditemukan di peleburan aki bekas yang ilegal, tetapi juga di sekitar peleburan aki yang legal.
Namun, menurut Esrom, peleburan aki bekas ilegal itu perlu ditangani segera karena peleburan itu dioperasikan dengan cara tradisional dan terbuka, tanpa dilengkapi alat penangkap debu, seperti yang digunakan pelebur legal. Alat penangkap debu itu berfungsi untuk menangkap debu timbal yang dihasilkan dari peleburan aki bekas, sehingga asap yang dilepaskan di udara itu sudah bersih dari debu timbel dan debu logam berat lainnya.
Tanpa penangkap debu, seperti dijumpai di peleburan aki bekas ilegal, debu timbel dari peleburan aki bekas itu dengan mudah mencemari udara. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan KPBB, setidaknya ada 70 pelebur aki bekas ilegal tersebar di Kabupaten Bogor dan Tangerang.
Bahkan, menurut Esrom, temuan pencemaran timbel di Serpong dan sumber pencemarannya itu telah disosialisasikan kepada pemerintah, tetapi tetap tak ada tindakan untuk mengatasinya.
“Masalahnya, tak ada satu pun pihak yang protes terhadap pencemaran timbal dari peleburan aki bekas ini. Masyarakat di sekitar peleburan pun diam. Pemerintah daerah juga tak melakukan apa-apa,” jelas Esrom.
Kepala Seksi Pemulihan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, Esti Tusminarti mengemukakan, pihaknya telah berkali-kali melarang kegiatan peleburan aki bekas ilegal di Cinangka, tetapi para pemilik peleburan justru berpencar dan menjalankan usahanya di Kecamatan Parungpanjang.
“Kami telah menawarkan kepada para pemilik peleburan dan para pekerjanya untuk beralih profesi atau berusaha mengurus perizinan agar menjadi usaha legal. Termasuk memindahkan lokasi peleburan ke zona industri, tetapi tidak ada respons dari mereka,” kata Esti.
Tak Didukung
Namun, di tataran pemangku kebijakan pun, penanganan pencemaran timbel ini pun tak memperoleh dukungan dari Direktur Pencemaran Udara Kementerian LHK, Dasrul Chaniago. Dasrul menganggap konsentrasi timbal di udara ambien Serpong belum mengkhawatirkan. Kendati temuan pencemaran timbal itu merupakan hasil penelitian Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian KLH, bersama Batan.
Dasrul beralasan debu timbel belum mencemari udara Serpong dan sekitarnya karena rata-rata konsentrasi timbal tahunan di daerah itu masih di bawah baku mutu. Dia pun menganggap konsentrasi timbal dalam rata-rata 24 jam di Serpong yang beberapa kali sempat melampaui baku mutu, itu juga tak perlu diperhitungkan.
“Kan nggak ada masalah. Kalau ada yang maksimum itu kan cuma satu kali. Biasa saja,” katanya.
Dasrul pun merasa tak perlu memperhitungkan hasil penelitian FKMUI terkait korelasi pencemaran debu timbel dengan kadar timbel dalam darah, dan kaitannya terhadap kecerdasan dan kesehatan. Kendati, penelitian itu dilaksanakan FKMUI atas permintaan Kementerian LHK. “Saya nggak minta meneliti. Mungkin unit lain. Ya sudah, masalahnya apa? Kalau saya melihat data ini, kemudian baku mutu, itu nggak ada masalah,” jelasnya.
Sementara Kementerian Kesehatan belum pernah melakukan penelitian terkait korelasi pencemaran debu timbel dari peleburan aki terhadap kesehatan masyarakat. Direktur Kesehatan Lingkungan Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali mengatakan, belum adanya riset terkait dampak pencemaran timbel terhadap kesehatan manusia itu karena pihaknya belum memiliki data konkrit jumlah korban yang tercemar polusi timbel.
Keracunan akibat timbel itu jarang dilaporkan. Bisa jadi karena minim evidence. Minim evidence ini membuat data yang tersedia tidak ada. Data ini seharusnya teman-teman di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama seperti Puskesmas atau klinik yang memiliki dan melaporkannya ke pusat,” ujar Agus.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, Ahmad Safrudin pun mempertanyakan sikap Direktur Pencemaran Udara Kementerian LHK yang justru tak sejalan dengan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian Kementerian LHK dan Batan. Padahal direktorat itu memiliki peran penting untuk mendorong institusi pemerintahan yang lain untuk melakukan tindakan dalam merespons serangkaian penelitian terkait pencemaran timbel dari peleburan aki bekas terhadap kesehatan masyarakat.
“Sudah banyak penelitian pencemaran timbal dari peleburan aki, baik itu di tanah, udara, maupun di darah. KPBB pun ikut meneliti. Hanya kami melihat tidak ada tindakan nyata dari pemerintah untuk mengatasi pencamaran timbel ini,” jelasnya. (BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/RYAN RINALDI)..............................SUMBER, KOMPAS, SENIN 15 OKTOBER 2018, HALAMAN 1
Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018