JAKARTA, KOMPAS—Indonesia menjadi negara pengimpor penuh (net importer) minyak mentah sejak 2003. Status pengimpor penuh juga akan terjadi untuk gas pada 2025 dan batubara di 2049. Situasi itu harus disikapi serius dengan mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan. Namun, itu butuh tekad kuat.
“Indonesia darurat energi,” kata Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto saat peluncuran buku Perspektif, Potensi dan Cadangan Energi Indonesia di Jakarta, Selasa (25/9/2018).
Energi fosil masih jadi sumber energi utama Indonesia, khususnya minyak bumi. Dari konsumsi minyak bumi 1,6 juta barrel per hari, Indonesia hanya memproduksi 700.000-800.000 barrel per hari. Sisanya, atau lebih separuhnya, diimpor. Itu membuat defisit neraca perdagangan Indonesia, khususnya saat rupiah melemah, kian membesar.
Jika tak segera diatasi, impor energi dipastikan terus naik. Outlook Energi Indonesia 2018 menunjukkan kebutuhan energi Indonesia pada 2016 mencapai 795 juta setara barrel minyak (SBM). Kebutuhan itu akan naik 2,3 kali pada 2030 dan 5,7 kali pada 2050 yang sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan industri dan transportasi.
Kedaruratan energi di Indonesia juga diakui Ketua Pembina Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insiyur Indonesia Nanang Untung. Namun, kedaruratan itu bukan dari besarnya impor energi, tapi dari ketidakmampuan masyarakat membayar energi sesuai harga kewajarannya.
Baru terbarukan
Besarnya impor energi jadi peluang guna mendorong pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang akan jadi andalan di masa depan. Selama ini, semangat pengembangan EBT timbul tenggelam, hanya diingat saat rupiah melemah. Dari terget bauran energi nasional sebesar 23 persen untuk EBT pada 2025, tahun ini tercapai 12,5 persen.
“EBT menjanjikan, tetapi butuh tekad kuat untuk pemanfaatannya,” kata Unggul. Untuk menopang besarnya kebutuhan industri, BPPT menilai jenis EBT yang paling memenuhi syarat ialah energi nuklir. Jenis energi baru ini diyakini mengganti pemakaian batubara untuk pembangkit listrik mencapai 73 persen.
Selain nuklir, air juga bisa menggantikan peran batubara. Persoalannya, sumber daya besar energi terbarukan ini ada di utara Kalimantan dan Papua yang jauh dari lokasi industri. Sementara di Jawa dan Sumatera yang jadi basis industri nasional, debit air terus turun bahkan banyak waduk kering saat kemarau.
Anggota Komisi VII dari Fraksi Nasional Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat yang juga Ketua Kaukus Nuklir Parlemen, Kurtubi, menilai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) perlu segera dimulai mengingat lamanya pembangunan PLTN. Jika tidak, impor energi akan terus membesar dan membuat harga energi makin mahal.
Penolakan tinggi
Meski demikian, kekhawatiran atas PLTN di masyarakat masih tinggi. Saat ini, sedang dikembangkan reaktor generasi keempat yang memiliki tingkat keamanan lebih tinggi dari reaktor generasi kedua di PLTN Fukushima Daiichi Jepang yang rusak akibat tsunami pada 2011.
Selain kapasitasnya yang besar dan bisa beroperasi 24 jam, nuklir juga didorong sebagai sumber energi karena Indonesia memiliki sumber uranium meski harus diperkaya dulu. Rendahnya emisi dari nuklir juga mampu mendukung target pengurangan emisi karbon global. Penggunaan nuklir juga jauh lebih sehat karena tidak menghasilkan polusi udara seperti batubara.
Mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara Nur Pamudji berpendapat, nuklir bisa menjadi pilihan sumber energi. Penggunaan nuklir diharapkan akan mengubah norma masyarakat untuk penggunaan listrik, termasuk listrik untuk kendaraan dan dapur.
Meski demikian, pengembangan nuklir bukan berarti mengesampingkan jenis EBT lain. Wilayah Indonesia yang luas dan berpulau-pulau membuat setiap daerah punya karakteristik berbeda, termasuk cara untuk memenuhi kebutuhan energinya. Karena itu, pilihan jenis energi harus disesuaikan kondisi setempat, tidak bisa disamaratakan.
Beralih dari nuklir
Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Surya Darma menilai peluang perkembangan riset berbagai jenis EBT ke depan juga perlu dipertimbangkan guna menopang energi nasional. Saat ini, banyak negara pemilik energi nuklir sebagai energi baru mulai beralih ke energi terbarukan, seperti angin dan matahari.
Sementara Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Jumain Appe menilai perlunya pengembangan bahan bakar nabati (BBN). Sebagai penghasil minyak sawit terbesar dunia, Indonesia punya sumber BBN melimpah yang tak dimiliki negara lain.
“Pengembangan EBT itu juga harus memperkuat riset dan inovasi Indonesia dan mendorong peningkatan penggunaan komponen dalam negeri,” katanya. Karena itu, riset energi yang masuk dalam prioritas Rencana Induk Riset Nasional butuh sinergi dan koordinasi dengan seluruh perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah dan swasta serta industri...................SUMBER, KOMPAS, RABU 26 SEPTEMBER 2018, HALAMAN 10
Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018