alan setapak dalam hutan konservasi Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Halmahera, Maluku Utara, hanya tampak dengan nyala senter. Jamal, petugas taman nasional, beberapa kali mengingatkan kami agar tak jatuh ke jurang atau hanyut oleh arus deras sungai yang mesti diseberangi.
Berjalan sekitar 1,5 jam sejak pukul 04.00, sampailah kami di lokasi pengamatan bidadari halmahera (Semioptera wallacii), burung endemik Halmahera. Di atas pepohonan ramai kicauan sang bidadari yang terbang berpindah dari satu pohon ke pohon lain sambil membuka sayapnya seolah menari. Pantas saja, penjelajah dan naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace (1823-1913), langsung jatuh cinta pada jenis burung ini.
”Saya sudah menemukan burung paling indah dan luar biasa di pulau ini. Mulanya saya ingin merahasiakannya, tetapi tidak tahan untuk menceritakan hal ini padamu. Saya punya burung surgawi dari genus yang baru! Ini berbeda dari yang pernah ada. Sangat luar biasa dan cantik! Saya kira ini adalah temuan terbaik sejauh ini”, begitu tulis Wallace dalam suratnya kepada rekannya di Inggris.
Selama delapan tahun menjelajahi Nusantara (1854-1862), Wallace mengumpulkan 125.660 spesimen terdiri dari 310 mamalia, 100 reptil, 8.050 burung, 7.500 kerang, 13.00 kupu-kupu, 83.200 kumbang, dan 13.400 serangga lain. Sebagian besar spesimen itu ia dapat di kawasan yang di kemudian hari disebut sebagai kawasan Wallacea.
Kawasan Wallacea yang meliputi Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara menjadi rumah bagi sedikitnya 697 jenis
burung penetap dan migran. Dari jumlah itu, 249 jenis di antaranya merupakan burung endemis, sebagian besar adalah burung bidadari kerabat dari cenderawasih. Wallace menemukan burung bidadari saat di Pulau Bacan, Halmahera, tahun 1858.
Sejumlah spesimen itu disimpan untuk koleksi pribadi dan sisanya dijual kepada kolektor dan museum-museum di Eropa. Pada saat yang bersamaan, ia mengembangkan ide mengenai seleksi alam. Pada 1855, Wallace sampai pada kesimpulan evolusi makhluk hidup dan tiga tahun kemudian menyusun semua teorinya itu. Pada Februari 1858, di Desa Dodinga, Halmahera Barat, Maluku Utara, saat terserang demam, Wallace mendapat momen eureka tentang proses seleksi alam.
Pikiran Wallace berkelana mengingat buku yang ia baca, antara lain Essays on the Principle of Population Thomas Malthus yang menjelaskan mengapa populasi manusia bisa terkendali karena penyakit, perang, dan kelaparan. Selain itu, ia teringat Principles of Geology Lyell yang menyebut usia bumi yang luas dan perubahan kecil yang terjadi menjadi lebih kuat selama beberapa tahun. Dalam kondisi tubuh menggigil, ia sampai pada kesimpulan, spesies paling kuat akan bertahan hidup, sedangkan yang lemah akan binasa.
Dua hari kemudian, Wallace menulis makalah On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type sebanyak 20 halaman bertuliskan tangan kepada Charles Darwin, naturalis Inggris yang ia kagumi ketika itu. Ide Wallace itu dibacakan di Linnean Society, London, pada 1 Juli 1858. Sekitar 15 bulan kemudian, Darwin memublikasikan bukunya, On the Origin of Species.
Peneliti Wallace, George W Beccaloni, dari Department of Life Sciences, The Natural History Museum, London, Inggris, mengatakan, sepanjang hidupnya, Wallace menulis ribuan artikel dan 22 buku, termasuk The Malay Archipelago (1869) yang berisi rincian pengamatan flora, fauna, dan keberagaman manusia di Nusantara. Meski menjadi penemu teori seleksi alam bersama Darwin, nama Wallace tidak sekondang Darwin.
Merawat kekayaan
Ketua Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia Sangkot Marzuki mengingatkan, warisan terbesar Wallace di Indonesia justru terlupakan. Penelitian ilmiah Wallace, yang disebut sebagai salah satu temuan besar di abad ke-19, seharusnya menjadi cambuk bagi Indonesia untuk lebih menghayati kekayaan keragaman hayatinya. Sayangnya, kata Sangkot, sekadar jejak tempat tinggalnya selama di Nusantara pun sulit dicari alias tak berbekas.
Peter Wilkie, ahli botani tropis di Royal Botanic Garden Edinburgh, Skotlandia, mengatakan, Indonesia beruntung memiliki kawasan Wallacea dengan keragaman hayati yang tinggi. Untuk pohon saja ada 250 spesies dalam 1 hektar, sedangkan di Inggris Raya hanya ada
40 spesies. Namun, dikhawatirkan bertambahnya populasi penduduk akan mengancam keragaman hayati di kawasan Wallacea.
Kecemasan Peter benar adanya. Berdasarkan data statistik, populasi penduduk di kawasan Wallacea tumbuh pesat dari 14,1 juta jiwa tahun 1971 menjadi 29,1 juta jiwa pada 2010. Pada 2020 nanti diperkirakan populasinya bertambah jadi 33,7 jiwa.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati mengatakan, keragaman hayati Indonesia ibarat emas biru yang belum banyak digali. Salah satu sebabnya adalah terbatasnya dana penelitian. Anggaran negara untuk penelitian hanya Rp 10,9 triliun setahun, lebih rendah daripada anggaran penelitian sebuah perusahaan kosmetik yang mencapai Rp 15 triliun per tahun.
Tahun depan tepat 150 tahun The Malay Archipelago-nya Wallace. Butuh perhatian semua pemangku kepentingan agar keragaman hayati di kawasan Wallacea tetap terjaga dan mengagumkan, seperti saat Wallace menjelajahi kawasan itu....................SUMBER, KOMPAS, RABU 25 JULI 2018, HALAMAN 1
Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018