Tahun ini PBB menjadikan Hari Lingkungan Sedunia, 5 Juni, sebagai titik tolak melawan sampah plastik. Dengan India sebagai tuan rumah Hari Lingkungan, delegasi dari pelbagai negara dan sektor—pengambil kebijakan, bisnis, penemu—berkumpul di New Delhi untuk mencari solusi.
Mereka membangun seri diskusi tentang beragam aspek plastik. Dari penggunaan yang belum tergantikan di bidang industri, konstruksi, kesehatan, dan makanan, hingga penggunaan plastik sekali pakai dan apa alternatifnya.
“Masalah ada pada cara kita mengonsumsi dan membuang plastik. Di India, 45 persen plastik hanya digunakan sekali, ” kata Shri Raghavendra Rao dari Kementerian Bahan Kimia dan Pemupukan, dalam website resmi Hari Lingkungan Global.
Namun, India lumayan diselamatkan oleh pemulung, sehingga 60 persen sampah plastik bisa didaur ulang. Statistik menunjukkan, dari 40.000 ton limbah plastik India setiap hari, setengahnya merupakan barang-barang yang hanya sekali pakai seperti tas, sendok-garpu, sedotan, dan gelas-piring plastik.
Di India, setiap hari ada 40.000 ton limbah plastik. Dari jumlah ini, 60 persen sampah plastik bisa didaur ulang.
Meski demikian, dalam hal limbah plastik Indonesia jauh melebihi India. Nomor dua dunia setelah China, Indonesia yang hampir tidak mengolah limbah sama sekali, memproduksi 3,8 juta ton sampah plastik setiap tahun. Dari jumlah itu, 3,2 juta ton berakhir di laut (Jenna R Jambeck dan kawan-kawan dalam Jurnal Science, 2015).
Menurut Program Lingkungan PBB (UNEP) dalam studinya tahun 2015, dunia menghasilkan 280 juta ton plastik setiap tahun. Dari jumlah itu, masih sangat sedikit yang didaur ulang.
Plastik adalah ironi inovasi. Dielu-elukan saat diperkenalkan Alexander Parkers tahun 1862 karena kemudahan dibentuk, daya tahan, dan rendahnya biaya produksi, plastik dengan cepat menggantikan bahan baku berbagai jenis barang dan merajai dunia. Baru kemudian diketahui, plastik tidak mudah terurai.
Kantong plastik alias “tas keresek”, misalnya, perlu waktu 200-1.000 tahun untuk terurai, gelas plastik 50-100 tahun, kontainer plastik 50-80 tahun, dan botol plastik 500 tahun. Dari tujuh jenis plastik yang beredar saat ini, hanya dua yang mudah untuk didaur ulang, PTE (Polyethylene Terephthalate) dan HDPE (High Density Polyethylene).
Kantong plastik alias “tas keresek” perlu waktu 200-1.000 tahun untuk terurai, gelas plastik 50-100 tahun, kontainer plastik 50-80 tahun, dan botol plastik 500 tahun.
Sampah plastik tidak hanya mengganggu ekosistem darat, tetapi juga laut. Tiap tahun 8 juta ton plastik berakhir di lautan dan pelbagai spesies terkena dampaknya. Termasuk di antaranya 86 persen spesies penyu laut, 44 persen spesies burung laut, dan 43 persen spesies mamalia laut.
Sebenarnya sudah banyak inovasi untuk mengatasi sampah plastik ini. Di antaranya adalah temuan para ilmuwan di Universitas Adelaide, Australia, yang berhasil mengubah limbah plastik menjadi Carbon Nanotube Membranes (CNTs). Ini adalah material terkuat saat ini—hingga ratusan kali baja, namun enam kali lebih ringan—yang bisa digunakan untuk turbin angin, piranti pengindraan jauh, ion baterai lithium, dan inovasi medis.
Dalam jurnal ilmiah Fuel Processing Technology, juga telah dipublikasikan temuan para ilmuwan di Universitas Illinois, yang bisa menghasilkan sejenis bahan bakar solar dari konversi tas keresek. Upaya ini membutuhkan energi yang jauh lebih sedikit dibanding energi yang dihasilkan.
Temuan-temuan lain, seperti yang disampaikan Mother Nature Network, adalah mendaur ulang limbah plastik untuk campuran aspal dalam pengerasan jalan, atau untuk batu bata bangunan. Sayangnya, semua itu takkan berarti tanpa kerja sama global untuk memanfaatkannya.....................SUMBER, KOMPAS, RABU 6 JUNI 2018, HALAMAN 14
Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018