Sampah plastik yang dibuang ke lautan terus bertambah. Riset terbaru menemukan, sampah plastik mengapung di Samudra Pasifik bagian utara dan menutupi lautan seluas 12,5 kali Pulau Jawa.
Sampah plastik yang mengapung di Samudera Pasifik bagian utara Khatulistiwa membesar hingga mencapai 1,6 juta kilometer persegi atau 12,5 kali luas Pulau Jawa. Sebagian besar MASIH berukuran makro sehingga bencana lebih besar bakal terjadi, saat plastik ini meluruh jadi mikro atau nano.
Konsumsi plastik dunia saat ini 8.300 juta metrik ton, sebagian besar di antaranya dihasilkan dalam satu dekade terakhir. Dari volume ini, hanya sebagian kecil didaur ulang.
Riset Roland Geyer dari Universitas California dan timnya yang dipublikasikan di jurnal Science Advances (2017) menyebut, hanya sekitar 9 persen sampah plastik didaur ulang, 12 persen dibakar, 79 persen di antaranya dibuang ke lingkungan, dan sebagian besar di antaranya berakhir di lautan. Itu sejalan dengan data dari The Ocean Cleanup Foundation, rata-rata tiap tahun 1,15 juta sampai 2,41 juta ton sampah plastik mengalir dari sungai-sungai di dunia menuju lautan.
Sementara kajian oleh Jenna R Jambeck dari Universitas Georgia dan tim yang terbit di jurnal Science (2015), menyebut, Indonesia jadi negara nomor dua di dunia terbanyak membuang sampah plastik ke laut, yakni 0,48 juta – 1,29 juta ton per tahun. Indonesia hanya kalah dari China yang membuang sampah plastik 1,32 juta – 3,53 juta ton per tahun.
Begitu masuk ke perairan, sampah plastik akan terapung di lautan bertahun-tahun. Perlahan, sampah plastik mengumpul di suatu area karena ada pusaran arus (gyre) di lautan.
Di seluruh lautan, 5 pusaran arus jadi tempat sampah plastik berkumpul. Pusaran arus laut yang jadi tempat penampungan sampah laut terbesar di dunia di Samudera Pasifik bagian utara garis Khatulistiwa, antara Kepulauan Hawai dan Kalifornia. Area penumpukan sampah plastik di Pasifik disebut Great Pacific Garbage Patch (GPGP).
Penampungan sampah plastik juga ada di Samudera Pasifik selatan khatulistiwa, Samudera Hindia antara Australia dan Madagaskar, Samudera Atlantik utara khatulistiwa, Samudera Atlantik selatan khatulistiwa.
Riset Laurent Lebreton dari The Ocean Cleanup Foundation dan tim yang diterbitkan di jurnal Nature pada 22 Maret 2018 menemukan, total sampah plastik mengapung di GPGP kini seluas 1,6 juta kilometer persegi atau tiga kali luas Perancis. Dibandingkan Jawa, pulau plastik di Pasifik ini 12,5 kali lebih luas.
Total plastik diperkirakan 1,8 miliar kepingan seberat 79.000 metrik ton atau setara 500 jet jumbo. Itu didapat lewat ekspedisi sejak 2015. Tim melakukan pemetaan udara dengan dua pesawat dan pengambilan sampel lewat jaring dari 18 perahu.
Berukuran Makro
Dari sampel yang diambil, diperoleh data bahwa 92 persen sampah plastik ini ukuran makro dan hanya 8 persen berukuran mikro atau kurang dari 5 milimeter (mm). Sekitar 46 persen sampah plastik berasal dari alat tangkap dari industri perikanan, terutama jaring. Sebanyak 20 persen sampah plastik ini diduga berasal dari sampah tsunami Jepang tahun 2011.
George Leonard, ilmuwan dari Ocean Convervancy, kepada National Geographic mengatakan, dominasi sampah alat tangkap ikan ini amat menarik, karena biasanya yang disorot ialah botol plastik. “Studi ini mengonfirmasi alat tangkap yang ditinggalkan atau hilang di laut jadi sumber utama kematian binatang laut,” kata dia.
Data lain ialah, mayoritas plastik berupa plastik makro. Jadi sebagian besar sampah belum terlalu lama di laut.
Dengan menganalisis jumlah plastik mikro dengan sejarah pengukuran di GPGP, tim periset menemukan volume GPGP bertambah. Dari 50 sampel plastik dibaca dari tahun pembuatannya: satu diproduksi pada 1977, tujuh produksi tahun 1980-an, 17 produksi pada 1990-an, 24 produksi tahun 2000-an, dan satu pada tahun 2010.
Peneliti menemukan 386 objek menerakan kata atau kalimat dari 9 bahasa berbeda. Sepertiga objek memakai bahasa Jepang, sepertiga bahasa China., sisanya dari 12 negara berbeda.
Jika dibiarkan terus di lautan, sampah plastik meluruh sampai ukuran mikro, bahkan nano. Jika itu terjadi, bencana lingkungan lebih mengerikan terjadi.
Berbeda dengan sampah makro yang terapung di permukaan laut, sampah mikro dan nano bisa turun ke laut lebih dalam. Ukurannya yang mikro menyebabkan plastik mikro dan nano termakan mikro organisme lalu masuk rantai makanan.
Riset bersama Universitas Hasanuddin dan University of California Davis dipublikasikan di jurnal Nature (2015) menemukan cemaran plastik mikro di saluran pencernaan ikan dan kerang di tempat pelelangan ikan di Makassar, Sulawesi Selatan. Cemaran plastik mikro sepertiga sampel. Cemaran plastik mikro ditemukan mulai dari ikan teri sampai tongkol.
Sementara riset Karin Mattsson dan timnya dari Universitas Lund, Swedia, dipublikasikan di jurnal Nature (2017) menemukan, partikel plastik nano ukuran lebih kecil dari 330 mikron (0,33 milimeter) bisa terserap tanaman laut dan dimakan ikan. Itu membuatnya terserap ke darah dan terakumulasi ke jaringan otak.
Masalahnya, plastik mikro atau nano mudah mengikat bahan pencemar beracun, seperti pestisida dan logam berat. Bahan pencemar itu memicu kanker (karsinogenik), mutasi genetika, dan merusak embrio.
Meski lautan plastik jauh di Pasifik, peluang terbawa ke perairan lain, termasuk ke Indonesia, tinggi. “Massa air laut bergerak. Sampah bisa terangkut lintas laut,” kata Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan, Widodo Pranowo.
Dengan luas wilayah kita didominasi laut dan sektor ini menopang kehidupan warga, Indonesia rentan terdampak pencemaran sampah plastik. Karena itu, kita harus jadi bagian solusi sampah plastik..................SUMBER, KOMPAS, SELASA 3 APRIL 2018, HALAMAN 14
Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018