Pemerintah Kabupaten Cilacap di Jawa Tengah benar-benar berharap sebagian besar sampah-sampah rumah tangga di Cilacap akan habis terserap menjadi bahan bakar. Apabila hal ini tak tercapai, mereka akan kebingungan mencari Tempat Pengolahan Akhir baru yang kini sudah penuh.
TPA Tritih Lor di Jeruk Legi seluas 6,3 hektar sudah habis dan bahkan diprediksi pada tahun 2017 bakal penuh dan overload pada tahun 2025. Padahal, Pemkab Cilacap tak menganggarkan atau pun mencari tempat penimbunan sampah baru. Pengadaaan tanah selain mahal juga berongkos sosial mahal untuk “melawan” penolakan warga sekitar.
Sejak 2013, kabupaten pemilik Pulau Nusakambangan ini yakin daerahnya akan menjadi tempat pembangunan refuse derived fuel (RDF) atau bahan bakar sampah. Sampah di Cilacap sebanyak 130 – 150 ton per hari yang dikumpulkan dari 46 persen wilayahnya (yang bisa terkelola), sebanyak 120 ton di antaranya masuk ke fasilitas RDF.
Program ini diinisasi Holcim, pabrik semen yang beroperasi di Cilacap. Idenya, sampah rumah tangga yang tak terpilah alias tercampur berbagai jenis sampah seperti umumnya karakter sampah di Indonesia, diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Langkah ini bisa mensubstitusi sebagian kebutuhan batubara industri.
Gayung bersambut, kendala permodalan yang tak sedikit mendapatkan sambutan dari Program Dukungan Lingkungan Fase 3 (ESP3) Danida – Denmark. Mereka memberikan bantuan hibah senilai Rp 44 miliar dalam bentuk mesin dan bantuan teknis serta peningkatan kapasitas untuk mewujudkan ide itu.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pun mengucurkan dana Rp 25 miliar untuk pembangunan konstruksi. Pemerintah Provinsi Jateng menganggarkan dana Rp 10 miliar untuk mendukung program itu.
Adapun Pemkab Cilacap yang bakal merasakan manfaat langsung juga menganggarkan Rp 3 miliar. Dana ini untuk membeli lahan bekas tambang (quarry) milik Holcim seluas 2,5 hektar yang berada persis di samping TPA Tritih Lor.
Proses pembangunan konstruksi masih berjalan. Pihak ESP3 Danida pun menyatakan mesin pengolah sampah menjadi RDF yang menggunakan teknologi Jerman dalam tahap pengapalan. Pertengahan April ini peralatan itu telah tiba di Cilacap.
Masalah nonteknis
Meski demikian, berbagai permasalahan nonteknis masih membayangi apabila Fasilitas RDF ini telah beroperasi pada Oktober 2018. Apalagi pada saat itu nanti, donator utama proyek ini, Denmark, menutup program bantuannya di Indonesia.
Alasannya, menurut pihak Kedutaan Besar Denmark di Indonesia, program kini diarahkan ke Afrika dan Asia Selatan. Indonesia sudah dianggap sebagai negara middle income yang tak membutuhkan bantuan lagi.
Atas alasan ini, membuat ESP3 seakan terburu-buru untuk menyelesaikan proyek-proyeknya yang tersisa, termasuk Fasilitas RDF di Cilacap. Padahal, dari sisi nonteknis, berbagai permasalahan masih membayangi operasi fasilitas RDF ini.
Permasalah tersebut mulai dari mengatur dan mengelola lebih dari 100 pemulung yang memanfaatkan berkah sampah di TPA Tritih Lor, membentuk kelembagaan dan sumber daya manusia pengelola Fasilitas RDF, mekanisme penjualan RDF, hingga pihak pembeli pun belum pasti.
Pemkab Cilacap pun membutuhkan proses politik untuk merevisi peraturan daerah soal sampah sebagai payung hukum untuk transaksi jual-beli sampah RDF beserta mekanisme dan kelembagaannya.
Mari kita lihat satu per satu. Pertama, soal pemulung yang saat ini setiap saat bebas memungut sampah-sampah masih bernilai ekonomi di TPA. Ketika RDF beroperasi, rencananya mereka hanya diberi waktu jam-jam tertentu untuk memungut sampah.
Meski bagi kita terkesan sederhana, bagi mereka yang terbiasa bekerja “sesuka hati” dan “sesuka waktu” berdampak banyak. Misalnya, Sakiyem (30) yang sejak TPA Tritih Lor mulai digunakan tahun 1995, telah mencari sampah di TPA tersebut.
Hampir tiap hari, Sakiyem ke TPA untuk mencukupi kebutuhan keluarga lantaran pendapatan suaminya yang bekerja sebagai buruh bangunan. “Saya cari sampah pas anak bisa ditinggal sama neneknya. Kalau diajak ke sini sering tidak mau,” kata dia, Kamis (22/3/2018).
Namun Dinas Lingkungan Hidup Cilacap memiliki iming-iming tersendiri untuk para pemulung. Lokasi Fasilitas RDF yang indoor membuat pemulung tak terkena panas terik dan bahaya terkena beling maupun benda tajam lain. Para pemulung juga nanti diberi tugas khusus untuk memilah benda-benda logam agar tak mengganggu proses RDF.
“Semua sedang kami pikirkan yang jelas solusinya win-win bagi para pemulung,” kata Kun Nasython, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Cilacap.
Harga
Tantangan selanjutnya pada mekanisme legal, administrasi, dan birokrasi terkait operasional Fasilitas RDF beserta penjualan produknya. Mulai dari menentukan pengelola berupa kelembagaan maupun sumberdaya pengisi lembaga-lembaga itu hingga kini masih belum jelas.
Apalagi bicara hal sensitif terkait harga produk RDF. Dalam satu hari pengolahan 120 ton sampah itu diperkirakan menghasilkan 30 – 40 ton RDF. Ini hanya sebagian kecil dari total kebutuhan batubara harian Holcim di Cilacap.
Meski penggunaan RDF ini kurang dari 10 persen dari total kebutuhan batubara, Holcim tetap menginginkan harga pembelian di bawah harga batubara. Sedangkan pemerintah – yang bisa dikatakan sebagai pihak penjual – menginginkan harga kompetitif.
Berapa nilainya? Pihak Holcim dan Pemkab Cilacap yang menjadi narasumber dalam media tour yang digelar Kedutaan Denmark pekan lalu di Cilacap, tak menjawab dengan pasti karena sedang dibicarakan.
Hanya saja sebagai gambaran, Kun menyebutkan nilai kalor RDF berkisar 2.800 kilokalori per kilogram atau lebih rendah dari batubara yang digunakan pabrik semen sekitar 4.000 kilokalori per kilogram.
Harga beli batubara yang fluktuatif dan berubah-ubah sesuai jenis kalorinya ini pun memengaruhi pertimbangan pembelian. Menurut Ian Rowland dari Technical Advisor dari ESP3, apabila harga batubara turun, para pengampu kepentingan agar memberikan subsidi sehingga harga RDF kompetitif. Namun, seperti halnya pemberian subsidi lainnya yang menggunakan anggaran pemerintah, kendala politik berupa payung hukum diperlukan agar tak menjadi permasalahan di kemudian hari.
Kendala lain, apabila Holcim yang selama ini tertarik dan menginisiasi pemanfaatan RDF menarik dukungannya, bakal membuat Pemkab Cilacap kelabakan mencari pembeli lain. Belum tentu industri pengguna batubara mau serta-merta menggunakan RDF.
Dari sisi lingkungan, apabila pembakaran RDF (tercampur polimer/plastik) dibakar pada pada suhu di bawah 800 derajat Celcius, risiko pelepasan senyawa dioksin yang berbahaya semakin besar. Tanur pabrik semen yang memiliki suhu minimal 2.000 derajat Celcius diyakini akan menghancurkan dioksin.
Kembali terkait harga, menurut Kun, untuk menghindari subsidi, harga RDF bisa menutup biaya operasi pengangkutan dan pengolahan seluruh 120 ton sampah yang dibawa ke fasilitas RDF. Ia menyebut kebutuhan dana mencapai Rp 4,2 miliar, sudah termasuk pengoperasian alat berat, pembayaran pekerja, listrik, dan pengoperasian alat. Dengan kata lain, per ton RDS agar dihargai Rp 383.000 (dengan asumsi produksi RDS hanya 30 ton per hari) hingga Rp 287.000 (dengan asumsi produksi RDS mencapai 40 ton per hari).
Sekadar informasi, harga batubara acuan periode 1 Maret yang ditetapkan Menteri ESDM sebesar 101,86 dollar AS per ton (atau senilai Rp 1,395 juta dengan kurs dollar RP 13.700). Hanya saja, harga batubara acuan ini pada batubara berkalor 6.332 kilokalori per kilogram.
Kondisi kompleks dalam persiapan pengoperasian ini disadari betul oleh Kun Nasython. Ia pun berharap pemerintah pusat membantu Pemkab Cilacap mengatasi kendala-kendala ini.Iming-imingnya, Kun mengklaim fasilitas RDF ini berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca yang berpotensi ditimbulkan dari sampah organik yang dibiarkan tertimbun dan terdegradasi. Pengolahan sampah sebagai RDF pun membuat pemkab tak perlu melakukan pembebasan lahan yang memberatkan angggaran daerah maupun memicu konflik penolakan dari warga.....................SUMBER, KOMPAS, SENIN 2 APRIL 2018, HALAMAN 13
Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018