Indonesia merintis riset pengembangan pembuatan bioetanol atau bensin nabati. Peningkatan efisiensi produksi dilakukan dengan merekayasa gen.
Bahan organik dari tumbuhan bukan hanya bisa diolah menjadi biodiesel, tapi juga bioetanol. Bioetanol memiliki prospek ekonomi dan ekologis lebih baik karena menggunakan bahan baku dari tanaman non-pangan dan limbah biomassa.
Namun kadar bioetanol dalam proses pembuatannya masih rendah. Rekayasa genetika diterapkan pada mikroba pengurai bahan selulosa itu untuk meningkatkan hasilnya.
Beriklim tropis basah, Indonesia memiliki sumber biomassa terbesar di dunia. Sumber hayati ini beragam jenisnya mulai dari rumput-rumputan hingga pepohonan kayu terhampar di kawasan hutan dan lahan pertanian.
Di pesisir pun ditemukan biomassa berupa mikroalga dan rumput laut. Potensinya pun sangat besar, karena garis pantai negeri mega kepulauan ini terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada. Karena itu Indonesia berpotensi menjadi sentra bioenergi dunia.
Sumber daya hayati ini mulai dikembangkan pemanfaatannya karena kebutuhan bahan bakar cair terus naik, sedangkan pasokannya dari bahan bakar fosil terus menurun. Di Indonesia kebutuhan bahan bakar cair menanjak dari 1,4 juta barel per hari menjadi 3,3 juta barel per hari pada 2030. Sedangkan produksi minyak bumi pada 2030 tinggal 50 persen dari produksi saat ini. Proyeksi ini dipaparkan oleh Tatang H Soerawidjaja, Ketua Umum Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI).
Selama ini sumber hayati ini diolah dengan proses konvesional menjadi biodiesel atau biosolar. Untuk menghasilkan biodiesel, bahan bakunya dikonversi dengan proses termokimia dan esterifikasi, yaitu dengan pemanasan pada suhu tertentu yang memicu reaksi kimia hingga menghasilkan bahan bakar nabati (BBN) ini.
Bahan bakunya berasal dari tanaman yang mengandung gula antara lain tebu, pati dari singkong, dan minyak dari kelapa sawit. Saat ini telah ada lebih dari 20 pabrik biodiesel di Indonesia, dan telah masuk ke tahap komersial.
Generasi kedua
Sementara itu proses pembuatan bioetanol yang disebut BBN generasi kedua baru gencar dikembangkan di dunia sejak tahun 2000-an, antara lain di Jepang, Amerika Serikat, Jerman dan Swedia serta Brazil. Indonesia pun tak ketinggalan merintis riset yang sama.
Pada pembuatan bioetanol, proses utama adalah konversi biokimia yaitu hidrolisis dan fermentasi. Pada hidrolisis, karbohirat akan diubah menjadi glukosa. Selanjutnya zat gula ini di fermentasi menjadi etanol.
Pada tahap ini dikerahkan mikroba yang mengeluarkan enzim selulase untuk mengurai selulosa menjadi bioetanol. Untuk menghilangkan kadar air untuk meningkatkan kemurnian etanol kemurniannya dilakukan proses distilasi atau dehidrasi.
Pada teknik proses yang ada bioetanol yang dihasilkan masih sekitar 12 – 14 persen dari volume bahan baku. Hal ini yang mendorong upaya para peneliti di berbagai negara untuk meningkatkan daya urai mikroba dengan berbagai perlakuan.
Rekayasa mikroba
Dalam pengembangan teknologi proses pembuatan bioetanol, Indonesia menjadi target kerja sama riset. Ini karena Indonesia tidak hanya memiliki bahan baku yang potensial, tetapi juga menjadi sumber mikroba yang paling melimpah.
Kerja sama riset dijalin Jepang dan Korea Selatan dan menetapkan Indonesia sebagai pusat teknologi biokilang di kawasan Asia Tenggara. Penelitian bioetanol di Indonesia melibatkan berbagai pihak antara lain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, dan Rekayasa Industri. Tahapan kerja sama ini masih dalam skala laboratorium dan pembuatan pabrik percontohan.
Dalam kerja sama itu tim gabungan dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, LIPI, dan UI, yaitu M Samsuri bersama Misri Gozan, Bambang Prasetya, dan Mohammad Nasikin dari LIPI dan UI, melaksanakan penelitian di Laboratorium Konversi Biomassa di Universitas Kyoto dan Laboratorium Bioproses Teknik Kimia UI. Mereka menghasilkan teknologi proses baru, yaitu sakarifikasi dan fermentasi serempak.
Penelitiannya menggunakan bagas dari pabrik gula. Dalam tahapan awal proses, Samsuri menggunakan beberapa jamur pelapuk putih (Ceriporiopsis subvermispora, Lentinus edodes dan Pleurotus ostreatus) dan proses perebusan.
Selanjutnya pada proses hidrolisis digunakan kombinasi tiga enzim selulosa, yaitu selulase, selobiase, dan xylanase. Lalu pada proses fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae AM 12 yang dilakukan secara serempak.
Dengan serangkaian proses tersebut, Samsuri, dapat meningkatkan produksi etanol dari 12 persen menjadi 36,4 persen. Hasil riset ini telah masuk dalam Journal of Chemical & Natural Resource Engineering dan Journal Asian Coordinating Groups for Chemistry pada 2008.
Penelitian bioetanol saat ini dilanjutkan Yopi Sunarya dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, selaku manajer proyek SATREPS (Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development) Biokilang terpadu. Peningkatan efisiensi produksi dilakukan dengan merekayasa gen pada mikroba Actinomisetes sebagai pengurai.
Dalam hal ini gen penyandi enzim pada mikroba ditransformasi lalu dimasukkan ke dalam ragi sebagai sel induknya. Dengan modifikasi ini ragi dapat lebih banyak mengurai glukosa. Proses fermentasi biomassa ini sudah bisa menghasilkan sekitar 20-30 gram per liter. Proses ini nantinya akan dipaten bersama mitra Jepang.
Sementera itu di Pusat Penelitian Kimia LIPI, Hasnan Abimanyu dan timnya bekerja sama dengan Korea Institute of Science and Technology (KIST) membangun pabrik percontohan berkapasitas 10 liter perhari. Pada pabrik ini paten teknologi proses dimiliki LIPI.
Sedangkan Korea yang membuat desain peralatannya menerapkan paten proses Pressure Swing Absorption untuk memurnikan bioetanol dari 95 persen sampai 99,5 persen.
Pabrik percontohan ini mulai dibangun pada 2011 hingga beroperasi 2012. Tahun 2014 mulai berproduksi menghasilkan bioetanol dengan kadar 99,5 persen. Pembangunan skala besar, yaitu 1000 liter per hari, tengah dijajaki dengan pihak industri antara lain Rekayasa Industri, ujar Hasnan.
Sementara itu peningkatan kemurnian bioetanol secara mandiri akan dilaksanakan bersama dengan Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam LIPI Gunung Kidul Yogyakarta menggunakan zeolit alam sebagai penyerap air dari etanol.
“Dalam skala kecil proses pemurnian dapat mencapai 99,5 persen, namun belum diketahui daya tahan bahan material ini untuk proses yang lama,” urai Hasnan.
Kemitraan dengan pihak asing juga dijalin ITB. Penelitian bioetanol antara lain dilakukan oleh Ronny Purwadi dan timnya di Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. Riset lignoselulosik etanol antara lain dilakukannya di Swedia sekitar 2002 hingga 2006 bersama Mohammad Taherzadeh, guru besar dari Universitas Boras Swedia. Dalam risetnya digunakan mikroba Mucor indicus yang biasa ditemui pada oncom.
Hasil riset ini dikembangkan bersama Rekayasa Industri, untk mengolah tandan kosong kelapa sawit menjadi bioetanol . Pengembangan teknologi proses terutama pada pengolahan glukosa menjadi bahan bakar nabati itu kini tengah dalam proses paten.
Penerapan bioetanol
Sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan yang tidak mengeluarkan emisi gas karbon, bioetanol mulai digunakan di sektor transportasi di negara maju. Pada 2010 Uni Eropa menetapkan penggunaan bioetanol di sektor transportasi, yaitu bahan bakar kendaraan bermotor harus menggunakan sekitar 6 persen bensin nabati ini. Persentasenya akan ditingkatkan menjadi 20 persen pada 2020.
Di Swedia, bioetanol yang dihasilkan dari gandum sudah digunakan di bus kota. Brazil negeri yang kaya sumber biomassa bahkan telah menerapkan biogas ini di sektor transportasi sejak 2002. Bahan bakar yang digunakan sekitar 25 persennya merupakan bioetanol..................SUMBER, KOMPAS, SENIN 26 MARET 2018, HALAMAN 14
Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018