Perpustakaan Emil Salim

Sekertariat Jenderal
Pusat Data dan Informasi
Bidang Pengelolaan Informasi

Perpustakaan

PERMOHONAN MAAF KAMI SAMPAIKAN KE SELURUH ANGGOTA PREMIUM JIKA ADA FILE YANG TDK DAPAT DIUNDUH. DIMOHON UNTUK MEMBERITAHUKAN VIA EMAIL KE : emilsalimlibrary@gmail.com DAN KAMI AKAN MENGIRIMKAN FULLTEKS KE EMAIL ANGGOTA -

KONFLIK LINGKUNGAN : SATWA DAN MANUSIA SAMA-SAMA TERANCAM

KONFLIK LINGKUNGAN : SATWA DAN MANUSIA SAMA-SAMA TERANCAM

KONFLIK LINGKUNGAN : SATWA DAN MANUSIA SAMA-SAMA TERANCAM

BANDA ACEH, KOMPAS – Konflik satwa liar dengan manusia di Provinsi Aceh semakin memprihatinkan. Satu warga Desa Pulo Ie, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, kritis setelah diserang gajah.

Sementara itu, di Desa Krueng Tijei, Kecamatan Meureudue, Kabupaten Pidie Jaya, seekor gajah jantan mati, diduga karena perburuan. Konflik tersebut menyebabkan satwa dan manusia sama-sama terancam.

Penyerangan gajah terhadap warga terjadi Rabu (14/11/2018) petang. Korbannya, Kamaruddin (50), kritis setelah diempas gajah dengan belalai lalu diinjak anak gajah.

Peristiwa terjadi saat korban pulang dari kebun. Di tengah jalan, korban berpapasan dengan sekawanan gajah, tetapi tak terjadi apa pun. Beberapa meter kemudian, ia bertemu gajah betina dan anaknya. Kedua gajah lalu menyerang korban.

Pada hari yang sama, warga di Pidie Jaya menemukan bangkai gajah jantan yang diduga mati karena dibunuh. Dasar dugaan, gading gajah itu raib dan banyak bercak darah di sekitar bangkai.

Sepanjang 2005-2018, sebanyak 38 gajah di Aceh mati akibat diburu, diracun, disetrum, dan dijerat (Kompas, 7/11). Dengan kematian itu, jumlah gajah yang mati 39 ekor. Korban manusia belum ada datanya.

Direktur Pusat Kajian Satwa Liar Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Wahdi Azmi, Kamis (15/11), mengatakan, tingginya pembukaan lahan hutan menyebabkan habitat satwa, terutama gajah, terganggu.

Pola bertani warga di sekitar hutan juga tidak mempertimbangkan keberadaan gajah. Misalnya, jenis komoditas yang ditanam disukai gajah, seperti kelapa sawit, pinang, padi, dan jagung.

Seharusnya, kata Wahdi, komoditas yang ditanam yang tidak disukai gajah, seperti lada, cengkeh, dan kopi. Perlu pendampingan bagi petani di sekitar kawasan. ”Pola pemanfaatan ruang perlu diatur sehingga konflik bisa diminimalkan,” kata Wahdi.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo mengatakan, penanganan konflik satwa liar di Aceh harus dilakukan banyak pihak.

Meski mandat utama BKSDA melindungi dan menangani satwa, tanpa dukungan pemerintah daerah akan sulit. Apalagi kini sebagian besar gajah, harimau, dan satwa lindung lain berada di luar kawasan konservasi.

Gubernur Aceh telah membentuk tim penanggulangan konflik satwa liar melalui Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/1098/2015. Dalam surat itu terdapat 23 instansi pemerintah yang menjadi tim penanggulangan konflik satwa. Namun, kata Sapto, belum semua instansi terlibat aktif. ”Yang bergerak baru BKSDA dan Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan,” katanya.

Kepala Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Aceh Muhammad Nasir mengatakan, kebijakan gubernur membentuk tim khusus penanggulangan konflik satwa liar tidak diiringi dukungan anggaran. Pada 2018, tidak ada anggaran khusus untuk kegiatan mitigasi konflik.

Wahdi Azmi, anggota tim perumus dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2018-2023, mengatakan, ada langkah maju terhadap penyelamatan satwa lindung di Aceh.

Dalam rancangan RPJMA, program penyelamatan spesies kunci terakomodasi. Jika rancangan RPJMA disahkan jadi peraturan daerah, akan diikuti dengan alokasi anggaran.

Seiring itu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) juga mempersiapkan rancangan qanun perlindungan satwa liar di Aceh.

Ketua Komisi II DPRA Nurzahri mengatakan, ditargetkan pada Desember 2018 rancangan qanun ditetapkan menjadi qanun inisiatif sehingga pada 2019 langsung dibahas.

Nurzahri mengatakan, qanun itu mengatur perlindungan satwa secara menyeluruh, termasuk pembuatan kawasan khusus satwa dan mitigasi konflik. (AIN)....................SUMBER, KOMPAS, JUMAT 16 NOPEMBER 2018, HALAMAN 22

Copyright © Perpustakaan Emil Salim 2018